Jakarta – Hakim Agung Gayus Lumbuun menyetujui hukuman mati di Indonesia. Pasalnya, hukuman mati yang diterapkan di Indonesia sudah sesuai dengan hukum politik nasional.
“Eksekusi hukuman mati merupakan politik nasional suatu negara. Jadi, negara kita masih menerapkan hukuman mati untuk tindakan-tindakan kejahatan tertentu dan kita harus menerimanya,” kata Gayus pada Seminar Nasional bertajuk “Dinamika Eksekusi Putusan Hukuman Mati di Indonesia” di Gedung D Fakultas Hukum UPH, Karawaci, Kamis (29/1).
Seminar ini diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi dan Anti Korupsi (PUSAKA) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) bekerja sama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI ) DKI Jakarta.
Selain Gayus, dalam seminar ini hadir juga sebagai pembicara Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Seminar ini dipandu oleh Ketua Pusaka FH UPH yang sekaligus juga menjabat sebagai Ketua MAHUPIKI DKI Jakarta, Jamin Ginting. Hadir juga Rektor UPH Jonatan L. Parapak dan Dekan FH UPH Bintan R. Saragih.
Gayus menjelaskan, inti politik nasional adalah menyangkut pembentukan dan pelaksanaan hukum suatu negara. Pembentukan, katanya, menyangkut perumusan hukum materil mengenai hukuman mati. Sedangkan, pelaksanaan hukum adalah pelaksanaan dan penerapan dari hukum materil tersebut. “Artinya, eksekusi hukuman mati merupakan persoalan politik hukum pelaksanaan hukum suatu negara,” tandasnya.
Menurut dia, eksekusi mati yang dilaksanakan pada tanggal 18 Januari yang lalu merupakan bentuk konsistensi penegakan hukum di Indonesia, sebagai bagian dari pelaksanaan politik hukum nasional dalam penegakan hukum positif. “Oleh karena itu, keputusan Presiden menolak grasi dari terpidana mati, menjadi dasar dan bagian dari proses hukuman eksekusi hukuman mati,” katanya.
Dia menegaskan, dalam hukum positif Indonesia masih mengakui hukuman mati. Bahkan, katanya, dalam Pasal 10 KUHP, hukuman mati dinyatakan salah satu dari empat pidana pokok selain hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda.
Konsistensi hukuman mati dalam kasus narkoba, lanjutnya, diperkuat oleh putusan MK atas Perkara No. 2/PUU-V/2007 dan Perkara No. 3/PUU-V/2007 perihal pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menolak permohonan untuk membatalkan hukuman mati.
“Dukungan terhadap hukuman mati dalam pidana narkotika karena dapat menimbulkan efek jera bagi pengedar nasional dan internasional. Hukuman mati ini sangat relevan dengan situasi darurat narkotika saat ini, meskipun masih ada perdebatan, tetapi kita harus patuh pada politik hukum nasional,” jelas Gayus.
sumber: beritasatu.com