Jakarta – Isu mengenai reshuffle (perombakan) kabinet hangat dibicarakan pasca-satu tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK). Salah satu pembantu presiden yang santer disebut akan diganti adalah Jaksa Agung, HM Prasetyo.
Bahkan, beredar kabar bahwa sudah ada surat keputusan presiden perihal penggantian politisi Nasdem tersebut, dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva.
Meskipun, Wakil Presiden, Jusuf Kalla telah membantah adanya penggantian ataupun surat keputusan tersebut, belum lama ini.
Ditemui usai mengikuti upacara Ziarah Nasional daam rangka memperingati Hari Pahlawan, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta, Selasa (10/11), Prasetyo kembali mengaku kinerjanya tidak terganggu dengan adanya isu penggantiannya ataupun tudingan keterlibatan dirinya dalam kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Sekjen Partai Nasdem, Rio Patrice Capella.
“Oh tidak, tidak (terganggu) karena saya tidak melakukan apa-apa, kenapa harus terganggu. Kalau saya melakukan sesuatu mungkin terganggu. Anda liat wajah saya seperti apa? Ada tidak perubahannya?” kata Prasetyo sebelum meninggalkan TMP Kalibata, Jakarta.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ataupun JK sudah mengetahui kapasitas dirinya. Sehingga, tidak perlu lagi dijelaskan mengenai kasus yang menjerat Rio Capella.
“Tidak perlu dijelaskan. Tidak ada masalah apa-apa, (mau) dijelaskan apa? Yang pastinya tidak terganggu karena tidak ada masalah apapun dengan saya,” tegasnya.
Oleh karena itu, Prasetyo mengaku telah menyerahkan perihal penilaian kinerjanya kepada yang berhak, yaitu Presiden dan Wapres, serta masyarakat.
Seperti diketahui, belum lama ini, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak agar Presiden Jokowi segera mengganti Jaksa Agung HM Prasetyo karena dinilai tak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Koordinator Kontras, Haris Azhar menilai Prasetyo tidak memiliki kemampuan. Terbukti, dengan tidak ketahui pengalaman dan kontribusinya dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), pemberantasan korupsi ataupun di bidang hukum, kecuali berasal dari jaksa karier.
“Dalam satu tahun pemerintahan Jokowi, orang ini (Prasetyo) lebih banyak membuat blunder di bidang hukum. Justru pemerintahan Jokowi memelihara jamur gaduh itu pada sosok HM Prasetyo. Dia sebenarnya jamur gaduh itu,” ungkap Haris saat jumpa pers di kantor ICW, Jakarta, Minggu (25/10).
Terbukti, ungkap Haris, Prasetyo malah membentuk tim rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di luar proses hukum. Padahal, menurut Nawa Cita dan RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional) penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah agenda pemerintah. Sehingga, disebut mengkhianati janji Presiden.
Kemudian, Prasetyo disebut tidak pernah mau melakukan penyidikan atas 7 berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah selesai diselidiki oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM. Padahal, sudah mendapat persetujuan politik dari DPR dan juga Presiden.
Bahkan, Haris menyebut bahwa Prasetyo sebagai Jaksa Agung menyetujui hancurnya penegakan hukum di bidang pemerantasan korupsi. Sebab, terbukti ikut dalam rapat di rumah Hendropriyono untuk mengkriminalkan AS (Abraham Samad) dan BW (Bambang Widjojanto). Sebagaimana, disebut sebuah majalah.
Sementara itu, dari sisi pemberantasan korupsi, Peneliti Bidang Hukum ICW Lalola Easter menyebut bahwa kinerja Kejaksaan di bawah kepemimpinan Prasetyo tidak memuaskan. Terbukti, dengan beberapa indikasi.
Pertama, ada 12 poin dari 17 poin Strategi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.7/2015 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2015.
Kedua, berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014, Kejaksaan masih memiliki piutang uang pengganti kurang lebih Rp 13 triliun yang belum dieksekusi padahal kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap. Contoh, belum diekskusi aset Yayasan Supersemar sebesar Rp 4,4 triliun. Padahal, putusan Mahkamah Agung (MA) sudah keluar sejak September 2015.
Ketiga, kerja Satuan Tugas Khusus Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus Tipikor) yang dibentuk Prasetyo tidak maksimal. Terbukti, mangkraknya kasus dugaan korupsi Transjakarta yang menjerat Udar Pristono dan kandasnya kasus korupsi Dahlan Iskan karena putusan praperadilan.
Keempat, institusi Kejaksaan masih tidak transparan. Terbukti, proses pengisian jabatan strategis di kejaksaan belum dilakukan dengan proses lelang.
“Dalam Surat Keputusan Jaksa Agung No: Kep-074/A/JA/05/2014 tanggal 13 Mei 2015, ada 16 pejabat eselon II dan III yang akan dirotasi. Begitu pula dengan Bayu Adhinugroho yang ditunjuk sebagai koordinator Kejaksaan Tinggi DKI tanpa kejelasan kompetensinya. Padahal, yang bersangkutan adalah anak dari Prasetyo. Ini menunjukkan proses yang tidak transparan,” ujar Lalola dalam acara yang sama.
Koordinator bidang hukum YLBHI, Julius Ibrani menambahkan bahwa Prasetyo sebagai jaksa agung cenderung melanggengkan kriminalisasi terhadap 49 orang yang diperiksa, ditangkap, ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, selama tahun 2015. Di antaranya, kasus hukum yang menjerat Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non-aktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Selain itu, penujukkan Prasetyo sebagai Jaksa Agung dinilai lebih kepada proses politis. Sebab, lebih mencerminkan bagi-bagi kursi kepada parpol pendukung dalam pemilihan Presiden tahun 2014. Terbukti, pemilihannya tidak melibatkan penelurusan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil mendesak agar Jokowi segera mengganti Prasetyo dengan sosok lain yang lebih berkompeten dan tidak berafiliasi dengan partai politik apapun.
sumber: beritasatu.com