Keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang memulihkan nama baik mantan Ketua DPR Setya Novanto menuai kritik. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, keputusan MK tidak bisa menghapus keputusan MKD. Sebab, ranahnya berbeda.
“Keputusan MKD itu soal etika. Sedangkan keputusan MK itu soal pidana,” kata Mahfud seperti dinukil detikcom.
Hal senada juga diungkap Hamdan Zoelva yang juga mantan Ketua MK. Menurutnya, keputusan MK secara prinsip berlaku untuk perbaikan ke depan. Keputusan MK tidak dapat mengoreksi keputusan yang ada sebelumnya.
“Jadi begini, sebetulnya kan MK itu berlaku ke depan, dia prospektif. Jadi putusannya itu tidak bisa memperbaiki atau merusak dari keputusan yang sudah ada sebelumnya,” kata Hamdan.
Politikus Partai Demokrat Ruhut Sitompul juga bersikap serupa. Menurut dia, keputusan MK tidak perlu ditindaklanjuti dengan keputusan memulihkan nama baik Setya.
Kenapa? Sebab, kata dia, proses di MK berbeda dengan yang di MKD. “Setya Novanto dicopot (dari Ketua DPR) karena masalah etika, bukan karena hukum,” katanya seperti dinukil Rmol.co.
Selasa lalu, MKD menggelar sidang dengan agenda permohonan Novanto untuk Peninjauan Kembali terhadap proses sidang yang dilakukan MKD terkait kasus “Papa Minta Saham”.
Dalam kasus tersebut, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said membawa bukti pengaduan berupa rekaman pembicaraan. Pasca-keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, bukti pengaduan tersebut dinyatakan tidak valid untuk dijadikan barang bukti.
“Rekaman itu tidak sah dan tidak mengikat. Atas dasar itulah, MKD menganggap tidak ada cukup bukti untuk proses persidangan MKD serta memulihkan harkat martabat Pak Setya Novanto,” kata Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding seperti dikutip Kompas.com.
Akhir tahun lalu, Setya Novanto terjerat kasus perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Dalam bukti suara yang direkam oleh Presiden Direktur PT Freeport Inonesia, Maroef Sjamsoeddin, seseorang yang suaranya mirip dengan Novanto, diduga meminta jatah saham dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo.
Kasus yang lantas dikenal dengan sebagai kasus “Papa Minta Saham” inipun masuk ke sidang etik. Mahkamah Kehormatan DPR menyimpulkan Novanto melakukan pelanggaran etika berat. Namun sebelum MKD menjatuhkan sanksi, Novanto mengundurkan diri sebagai Ketua DPR.
Mahfud menambahkan soal etika ini ada acuannya yakni Ketetapan MPR Nomor 8/2001 dan Tap MPR Nomor 21/2001. Dua Tap MPR ini mengatur soal etika kehidupan berbangsa dan bernegara. “Di situ disebutkan bahwa melakukan perbuatan yang kurang pantas atau tidak etis itu harus mengundurkan diri atau diberhentikan tanpa adanya putusan hukum. Itu ada (di dalamnya),” ujarnya.
sumber: beritagar.id