
“Saya paham betul bagaimana menjadi hakim dan tak mungkin memihak kepada pihak mana pun. Saya bertekad untuk menegakkan keadilan.”
Kutipan itu dipajang dalam profil Patrialis Akbar di laman Mahkamah Konstitusi (MK). Baginya, menjadi hakim konstitusi berarti menegakkan keadilan bagi harkat dan martabat kemanusiaan.
Pria kelahiran Padang, 31 Oktober 1958 ini mengaku tidak memiliki visi pribadi karena ditakutkan akan mengacaukan MK.
Sebab, MK memutuskan putusan yang diambil berdasarkan hasil keputusan kolektif. “Akan bahaya jika setiap hakim memiliki visi pribadi,” ujarnya.
Tapi dengan penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (25/1), visinya sebagai Hakim MK hancur.
Diangkatnya Patrialis menjadi Hakim Konstitusi pada 2013 sudah menjadi kontroversi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk politikus PAN (Partai Amanat Nasional) itu masuk ke MK.
Patrialis diangkat menggantikan Ahmad Sodiki yang sudah masuk usia pensiun pada Juli 2013. Keputusan SBY itu digugat YLBHI, ICW dan Koalisi LSM. Sebab, pemilihan Patrialis dinilai tak terbuka. Dia juga tak melalui proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR.
Menteri Koordinator Politik Bidang Hukum dan Keamanan saat itu, Djoko Suyanto menyatakan pengangkatan Patrialis sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah. “Kan (Patrialis) itu wakil pemerintah, bukan wakil yang lain,” ujar Djoko, seperti dinukil dari Detik.com.
Para penggugat menang di PTUN. Namun SBY banding dan menang. Hasilnya, Patrialis dilantik pada Agustus 2013.
Walau banyak yang menentang pelantikannya, Patrialis tetap teguh. “Karena hakim itu bukan tanggung jawab dunia tapi akhirat,” ujarnya.
Tapi, setelah duduk sebagai Hakim Konstitusi, tak membuatnya merendam kontroversi.
Ia mengundang decak heran pada awal 2014. Pertama karena bolos sidang di MK, tapi malah menghadiri sidang Akil Mochtar. Akil adalah Ketua MK yang tertangkap KPK karena kasus korupsi. Kedua, ia bolos sidang dengan alasan lainnya, menguji disertasi di Universitas Jayabaya, Jakarta.
Namun September lalu, ia menyindir Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja ‘Ahok’ Purnama. Sebab, Ahok ikut hadir sidang gugatan di MK. Menurutnya, kedatangan Ahok itu justru mengabaikan pelayanan masyarakat.
Patrialis sempat diperiksa oleh Dewan Etik MK, pada September 2014. Sebabnya, dalam sebuah diskusi, ia menyatakan Pilkada memang seharusnya diwakilkan kepada wakil rakyat.
Patrialis sendiri lama menjadi wakil rakyat. Ia menjadi anggota DPR terpilih selama dua periode dari PAN, 1999-2004 dan 2004-2009.
Selepas menjadi anggota DPR, SBY menunjuknya jadi Menteri Hukum dan HAM. Saat menjadi Menteri, Patrialis setuju dengan hukuman mati bagi koruptor.
Menurutnya hukuman mati pantas dihadiahi untuk koruptor yang melakukan korupsi dalam situasi tertentu. “Misalnya, korupsi saat negara dalam keadaan krisis, bencana alam, dan lainnya.
“Masak, orang lagi kesusahan, dia korupsi. Itu kan kebangetan,” ujarnya di depan Kantor Presiden, Selasa (6/4/2010) seperti dikutip dari Kompas.com.
Belum selesai jabatan Menteri, pada 2011 SBY menurunkannya dari posisi Menteri. PAN menyebut, Patrialis bukan lagi bagian dari partai itu sejak lengser dari posisi Menteri.
Patrialis lalu diberi kursi lain di BUMN, Komisaris Utama PT Bukit Asam. Setelah diangkat jadi Hakim Konstitusi, jabatan komisaris itu ia lepas.
Tentu posisi-posisi tersebut disertai dengan gaji besar. Menjadi Hakim MK sudah memberinya gaji Rp72,8 juta. Belum termasuk tunjangan lainnya. Tapi gaji besar, tak membuatnya menjauhkan diri dari godaan korupsi.
Jika ia terbukti ikut korupsi, ia tak hanya kehilangan gaji, tapi juga gelar akademiknya. Universitas Padjajaran, kampus di mana ia meraih gelar doktor hukum, juga bisa menarik ijazahnya.
sumber: beritagar.id