Jakarta – Permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana suap OC Kaligis tidak lazim. Kaligis menolak kehadiran Jaksa KPK dalam sidang karena berpegangan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No : PUU No 33/PUU-XIV/2016 yang mempertegas ketentuan PK merupakan hak terpidana dan ahli warisnya, bukan jaksa penuntut umum.
Buntut dari putusan MK, menurut Kaligis, karena tidak bisa mengajukan PK maka jaksa tidak berkepentingan hadir dalam sidang. Majelis hakim cukup terkejut atas pernyataan dan permintaan advokat kondang itu hingga menunda sidang untuk kemudian menentukan sikap dan mengeluarkan ketetapan.
Juru Bicara MK Fajar Laksono membantah pernyataan Kaligis yang menggunakan putusan MK No 33/PUU-XIV/2016 sebagai dasarnya. Sebab, putusan MK yang mengabulkan permohonan Anna Boentara, istri terpidana korupsi Bank Bali Djoko Tjandra, hanya mempertegas makna Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya.
Bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah,”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.
Implikasi dari putusan tersebut, lanjut Fajar, Pasal 263 ayat (1) KUHAP menjadi inkonstitusional sepanjang dimaknai lain dari yang dinyatakan secara eksplisit (tersurat). Artinya, pendapat Kaligis merupakan penafsiran pribadi yang bersangkutan atas putusan MK.
“Putusan MK itu sama sekali tidak pernah menyinggung pada persoalan apakah jaksa boleh hadir atau tidak dalam persidangan PK. Artinya, tindakan terpidana menolak kehadiran jaksa dalam persidangan PK jelas merupakan bentuk sikap atas penafsiran oleh yang bersangkutan sendiri terhadap putusan MK,” kata Fajar, di Jakarta, Selasa (28/2).
Fajar mengatakan, kedudukan hukum jaksa dalam persidangan PK telah diatur dalam Pasal 265 ayat (2) KUHAP yang menyatakan pemeriksaan sidang PK dihadiri pemohon serta jaksa penuntut umum, dan kedua belah pihak dapat menyatakan pendapatnya. Ketentuan tersebut konstitusional dan lazim berlaku selama ini.
“Wajib bagi majelis hakim berpegang pada hukum acara, dalam hal ini Pasal 265 ayat (2) KUHAP karena ketentuan tersebut sejauh ini masih tetap konstitusional,” kata Fajar.
Kaligis mengajukan PK atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang memperberat vonisnya dari 7 menjadi 10 tahun pidana penjara. Di tingkat pertama dia divonis 5,5 tahun penjara sebelum diperberat pada tingkat banding dan kasasi.
Menurutnya, vonis yang dijatuhkan hakim tidak adil karena hanya dirinya yang divonis tinggi dibanding seluruh terdakwa yang telah dipidana termasuk mantan Sekjen Partai Nasdem dan anggota Komisi III DPR Patrice Rio Capella.
Dalam pengajuan PK, Kaligis justru menjadikan berita acara pemeriksaan perkaranya sebagai bukti baru (novum). Dia bahkan mengaku memiliki 27 novum. Selain itu, Kaligis menyiapkan mantan Ketua MK Hamdan Zoelva serta mantan hakim konstitusi Laica Marzuki sebagai ahli.
Perkara Kaligis merupakan pengembangan operasi tangkap tangan KPK terhadap pengacara dari kantor pengacara Kaligis, seorang panitera dan tiga hakim PTUN Medan. Buntut dari penangkapan tersebut, KPK menangkap Kaligis di Hotel Borubudur Jakarta, mentersangkakan Gatot Pudjo Nugroho selaku Gubernur Sumut, serta istrinya Evy Susanti, juga mentersangkakan Patrice Rio Capella.
Perkara tersebut bermula dari penyelidikan dan penyidikan Kejati Sumut terhadap perkara korupsi seperti dana bansos, BOS, BDH, di Sumut yang mengarah kepada Gatot. Kaligis, selaku kuasa hukum Pemprov Sumut menguji kewenangan Kejati Sumut di PTUN Medan. Gugatan dikabulkan majelis, namun belakangan diketahui tiga hakim dan satu panitera menerima suap dengan total 27.000 dollar AS dan 5.000 dollar Singapura.
sumber: beritasatu.com