Jakarta – Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai pasal-pasal mengenai penodaan agama tak perlu dihapus. Alasannya, penanganan kasus penodaan agama memerlukan landasan hukum.
“Kalau keyakinan agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini diyakini oleh setiap agama ini, agama apa pun kemudian dicederai, dihina, tentu bisa marah. Bila pasal ini dihapus, lalu pakai apa? Karena itu, pasal ini masih diperlukan dan selama-lamanya masih diperlukan, jadi jangan sekali-kali menghapus pasal ini,” ujar Hamdan setelah menghadiri diskusi di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jaksel, Rabu (17/5/2017).
Hamdan mengatakan pasal penodaan agama memiliki dua landasan. Pertama, UU PNPS/1969 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dari tahun 1965 dan pasal pidana dimasukkan ke KUHP Pasal 156a. Jika pasal penodaan agama dihapus, pemerintah tak punya dasar hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut.
![]() Hamdan Zoelva di gedung KPK (Fitang/detikcom) |
“Saya kira yang kedua ini kita harus perhatikan betul, putusan Mahkamah Konstitusi tentang pembuktian terhadap PNPS 1 1969 dari PNPS 1965 itu. Itu sidangnya lebih dari satu tahun, dan MK menolak untuk menghapus pasal itu dengan alasan bahwa pasal ini masih diperlukan dalam rangka kalau ada penodaan terhadap agama yang mengakibatkan gejolak publik dan ancaman terhadap ketertiban umum kita bisa pakai jalur hukum,” tuturnya.
Semisal pasal penodaan agama dihapus, Hamdan khawatir tidak ada dasar hukum jika seseorang bersalah. Indonesia, yang punya keberagaman suku, budaya, agama, perlu diatur dalam UU.
“Tapi yang saya ingin katakan adalah apabila tidak ada pasal itu, dengan cara apa menghukum orang? Itu masalahnya. Nah, kalau mana yang lebih kita jaga? Koridor hukum atau dengan demo dan intimidasi publik? Mana yang kita kehendaki? Kalau tidak ada koridor hukumnya, nanti orang pakai jalanan, nah ini lebih berbahaya. Karena itu, inilah perlunya,” tutur Hamdan.
(dkp/fdn)
sumber: detik.com