Jakarta – Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi), Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mengatakan, pemerintah tidak perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Ormas untuk mempercepat proses pembubaran HTI. Hal ini lantaran UU nomor 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) masih cukup relevan untuk digunakan.
“Perppu tidak perlu. (UU) yang sekarang masih bisa digunakan,” kata Bayu, Kamis (18/5).
Dengan UU Ormas yang sekarang, pemerintah tetap mempunyai hak dan dapat membubarkan ormas seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap melanggar. Dalam UU tersebut, pemerintah dapat mencabut status badan hukum atau membubarkan terhadap ormas jika melanggar kewajiban ormas yang diatur dalam Pasal 21 huruf b UU Ormas.
“Dalam Pasal 21 huruf b UU Ormas disebutkan ormas berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aktivitas HTI yang di muka umum secara jelas telah menyatakan keinginan meniadakan NKRI dan menggantinya dengan sistem khilafah jelas merupakan pelanggaran atas kewajiban ini,” katanya.
Selain itu, HTI juga dinilai melanggar kewajiban ormas Pasal 21 huruf f yang menyebutkan kewajiban ormas untuk berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara. Partisipasi ini, kata Bayu, dapat tercapai jika ormas percaya kepada sistem nation state (negara bangsa) yang dipilih oleh para pendiri NKRI sejak 17 Agustus 1945.
“Tidak mungkin ormas yang tidak percaya dengan NKRI dan ingin menggantinya dengan sistem yang lain, kemudian dapat menjalankan kewajiban berpartisipasi untuk mencapai tujuan NKRI sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945,” jelasnya.
Lebih jauh, Bayu juga menilai HTI melanggar Pasal 59 ayat (2) huruf c UU Ormas yang mengatur larangan ormas untuk melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI. Menurut Bayu, separatis tidak harus selalu berarti mengangkat senjata dan melakukan perlawanan.
“Bentuk kampanye di muka umum untuk mengajak orang atau masyarakat membubarkan NKRI dan menggantinya dengan sistem lain yaitu khilafah pada dasarnya masuk kategori separatis yang mengancam kedaulatan NKRI,” jelasnya.
Atas pelanggaran ketentuan kewajiban ormas dan larangan ormas ini, maka sesuai Pasal 60 ayat (1) UU Ormas, pemerintah diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif, yang mengenai jenis sanksinya menurut Pasal 61 UU Ormas terdiri atas, peringatan tertulis; penghentian bantuan dan/atau hibah; penghentian sementara kegiatan; dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Bayu menjelaskan, frase “terdiri atas”, kemudian frase “dan/atau” dalam substansi Pasal 61 UU Ormas merupakan bentuk sanksi kumulatif alternatif. Dengan demikian, pemerintah bisa menggunakan secara berjenjang semua tahapan penjatuhan sanksi. Namun, dalam keadaan tertentu atau pertimbangan tertentu bisa saja langsung melewati beberapa tahapan dan langsung memilih salah satu sanksi.
“Dengan demikian, Pasal 61 UU ormas dapat melahirkan alternatif tindakan penjatuhan sanksi yaitu, bisa saja pemerintah melalui tahapan berjenjang seperti peringatan tertulis, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan sebelum menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas. Pemerintah juga bisa langsung memilih salah satu sanksi terberat yaitu pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas tanpa melalui tiga tahapan sebelumnya, yaitu peringatan tertulis, penghentian bantuan, dan penghentian sementara kegiatan jika memang merasa perlu demikian. Hal ini dapat didasarkan pada kalkukasi pemerintah tentang seberapa besar dampak bahaya atas aktivitas yang dilakukan Ormas jika tidak segera dibubarkan dalam waktu yang cepat,” jelasnya.
Bayu mengatakan, berdasar Pasal 70 ayat (1) UU Ormas, pemerintah dapat memutuskan menjatuhkan sanksi mencabut status badan hukum ormas. Permohonan pembubaran ini ormas berbadan hukum ini diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
“Dengan demikian, langkah-langkah pemerintah untuk melakukan pembubaran terhadap HTI sesungguhnya telah didasarkan pada alasan yang berdasar hukum yaitu sesuai UU Ormas itu sendiri, termasuk untuk prosedur permohonan pembubarannya telah melalui tahapan sebagaimana diatur oleh UU Ormas,” katanya.
Perlu Direvisi
Namun, Bayu mengatakan, UU Ormas tersebut perlu direvisi, terutama berkaitan dengan penjelasan Pasal 59 ayat (4) mengenai larangan ormas menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Selain ajaran ateisme, komunisme/Marxisme-Leninisme, pada Penjelasan Pasal 59 ayat (4) seharusnya juga menyebutkan khilafah sebagai ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
“Seharusnya ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila tidak hanya ajaran ateisme, komunisme/Marxisme-Leninisme, tetapi juga khilafah masuk dalam kategori itu,” katanya.
Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva mengatakan UU Ormas memiliki semangat pembinaan. Dengan demikian, pemerintah seharusnya memberikan peringatan kepada ormas yang kegiatannya dinilai bertentangan dengan Pancasila atau mengganggu ketertiban umum. Kalaupun ormas tersebut tak berubah meski berulang kali diingatkan, pemerintah seharusnya membekukan sementara kegiatan ormas tersebut.
“Jadi semangatnya pembinaan karena itu bagus sekali bagi saya sangat ideal karena ini kan menghormati kebebasan berpendapat. Oleh karena itu dibina dulu jadi mana tahu dia mau perbaiki dirinya meluruskan kegiatannya sehingga tidak ada atau tidak perlu pembubaran. Itulah semangatnya,” kata Hamdan Zoelva.
Dikatakan, terkait rencana pembubaran HTI, Hamdan mengaku tak pernah mendengar adanya pengumuman atau peringatan-peringatan sebelumnya. Langkah pemerintah yang langsung memutuskan mengajukan pembubaran HTI ini melompati prosedur yang tercantum dalam UU.
“Undang-undang tegas mengatakan kalau tidak memberikan peringatan pertama, kedua, ketiga atau gugatan itu menjadi prematur. Ini bisa menjadi masalah karena itu tunggu saja peringatan kemudian dibina mana tahu bisa dibina, mana tahu kegiatannya menyimpang bisa diluruskan, itu semangatnya,” tandasnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suady mengatakan, pada dasarnya ada dua tugas pemerintah yaitu melindungi warga negara dan menegakkan hukum. Jika ada orang yang menjadi korban maka harus dilindungi. Sama halnya jika ada yang melanggar hukum dan mengorbankan orang lain maka harus ditegakkan hukum.
“Dalam ormas, menurut saya, sebaiknya pemerintah menegakkan hukum. Sebab yang menjadi sasaran bukan ormasnya tetapi orang-orang atau memimpin ormas yang melanggar hukum,,” jelasnya.
Ia menambahkan, pertimbangan untuk menerbitkan perppu terkait UU 17/2013 tentang Ormas akan sulit. “Ini tampaknya agak sulit. Kita belum bisa tahu bagaimana suara mayoritas DPR. Sebaiknya tegakkan hukum kepada orang, sambil memproses Ormasnya kalau nyata- nyata memang melanggar hukum,” pungkasnya.
sumber: beritasatu.com