Tersangka kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Setya Novanto (Setnov) kembali mangkir dari pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini. Alasanya, pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus mendapat izin dari presiden.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva sepakat dengan alasan yang diajukan oleh tersangka kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) ini.
“Seharusnya iya, karena memang undang-undangnya (UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD atau MD3) begitu. Sama juga dengan hakim MK, harus izin presiden,” ujar Hamdan Zoelva kepada law-justice.co, di kediamannya di Jakarta Selatan, Sabtu (11/11/2017).
Di satu sisi, kata Hamdan, KPK menyatakan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan pemeriksaan anggota DPR tidak perlu seizin presiden. ”Cuma KPK menyatakan UU kami katanya tidak memerlukan izin. Kalau saya bilang salah. UU MD3 itu lahir 2014. Nah UU KPK lahir 2002. Kalau tidak perlu izin presiden kecuali dalam UU KPK itu namanya lex specialis. Dulu pernah diuji di MK, itu betul,” katanya.
Mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) ini menambahkan, sebelum UU MD3 di revisi menyebutkan bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus ada persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). ”Dulu untuk memeriksa anggota DPR itu, harus persetujuan dari MKD. Itu dibatalkan oleh MK. Sama dengan untuk memeriksa hakim agung, hakim konstitusi, harus izin presiden,” tegasnya.
Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang juga advokat senior, Petrus Selestinus menilai tindakan Setnov atas masukan kuasa hukumnya Fredrich Yunadi mangkir dari pemanggilan KPK hari ini sebagai saksi dalam pengusutan kasus e-KTP untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, serta telah meminta perlindungan kepada Presiden Jokowi, TNI dan Polri untuk melindungi Setnov dari KPK, dapat memecah belah bangsa dan sangat berlebihan.
“Ini jelas-jelas mendewa-dewakan Setnov sebagai sosok yang memiliki kharisma pemersatu bangsa; yang jika dipanggil KPK maka bangsa ini akan terpecah-belah,” ujar Petrus, dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/11/2017).
Ia sangat menyesalkan argumen dari pihak Setnov yang sudah menyerupai bola liar. Sebagai seorang Advokat, seharusnya Fredrick Yunadi tahu bagaimana tata cara menunda atau menolak pemeriksaan KPK. “Etikanya itu harus ada. Caranya mudah. cukup dengan surat penundaan atau datang langsung ke KPK dan melakukan koordinasi untuk menunda atau menyampaikan keberatan,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, Fredrick Yunadi seakan-akan tidak paham atau memang tidak mau tahu bahwa menjadi saksi dalam perkara korupsi merupakan salah satu dari tujuh kewajiban seorang penyelenggara negara seperti yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN.
“Karena itu ketika seseorang penyelenggara negara dipanggil untuk memberi keterangan sebagai saksi dalam perkara KKN, maka hal itu menjadi kewajiban yang asasi bagi setiap penyelenggra negara apapun jabatan dan pangkatnya,” jelasnya.
Dia menambahkan, Fredrick Yunadi telah merintangi tugas KPK yang dikualifikasi sebagai kejahatan korupsi, lantas tidak malu-malu menarik presiden Jokowi, TNI dan Polri untuk memberikan perlindungan hukum kepada Setnov.
“Ini jelas langkah-langkah destruktif yang tidak hanya telah menjerumuskan Setnov, tetapi juga menjerumuskan dirinya dan juga profesinya sebagai Advokat, karena sikap dan perilakunya menolak panggilan KPK jelas dapat dikualifikasi sebagai kejahatan korupsi dan merendahkan profesi Advokat karena melanggar sumpah profesi yang dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi hukum,” pungkasnya.