Jakarta – Keberatan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terkait keberatan SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 tentang Pembatalan Rencana Kerja Usaha (RKU) sudah sesuai undang-undang.
Berlarut-larutnya permohonan yang diajukan RAPP terkait SK itu tanpa penyelesaian membuktikan banyak lembaga pemerintahan yang tidak paham UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal dalam UU tersebut jelas mengatur jika dalam waktu 10 hari tidak direspons maka keputusan tersebut bisa batal.
“Ini Undang-undang baru. Banyak lembaga negara yang belum paham bahwa ada konsekuensi ketika ada sebuah permohonan itu tidak dijawab,” kata kuasa hukum PT RAPP Hamdan Zoelva di Jakarta, Minggu (10/12).
Menurut Hamdan, sebelum ada UU 30 tahun 2014, jika ada permohonan dalam waktu 120 hari tidak dijawab, maka permohonan tersebut dianggap ditolak. Saat ini, ketika diberlakukan UU 30 tahun 2014 maka jika dalam waktu 10 tidak dijawab, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan.
“Mungkin kementerian belum paham sehingga santai menanggapinya apabila ada pihak yang memohon. Padahal ada batas waktunya,” tegasnya.
Hamdan menuturkan, beberapa hari setelah KLHK mengeluarkan SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017, PT RAPP memang dipanggil. Bahkan, saat itu sekitar dua setengah jam KLHK membicarakan SK tersebut. Namun, apa yang disampaikan pihak KLHK hanya lisan. Sementara yang dibutuhkan PT RAPP adalah notulensi atau catatan atas dikeluarkan SK. Selain itu yang menyampaikan juga bukan menteri, tapi kesekjenan KLHK. Oleh karena itu pihaknya mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
“Kami minta 10 hari, tapi tidak direspons maka kami ajukan ke PTUN agar SK itu dibatalkan. Menggugat negara itu diboleh oleh UU. Karena negara itu tidak selalu benar. Yang kami gugat itu kesewenangannya,” tegasnya.
Hamdan juga menegaskan, jika keberatan atas terbitnya SK 5322/MenLHK-PHPL/UHP.1/10/2017 yang diajukannya ditolak Majelis Hakim PTUN maka pihaknya menyarankan agar PT RAPP menghentikan semua kegiatan atau aktivitas baik penanaman atau pun pembibitan. Karena jika hal tersebut dilakukan PT RAPP bisa melanggar hukum.
“Kalau ini tidak selesaikan secara cepat. Saya sarankan RAPP untuk hentikan semua kegiatan. Karena itu pelanggaran hukum,” paparnya.
Sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara ini bergulir setelah KLHK menerbitkan SK Menteri LHK tentang pembatalan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010 -2019. Dengan pembatalan tersebut, RAPP mengajukan keberatan karena RKU yang dimiliki masih berlaku hingga 2019. PT RAPP mengajukan permohonan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pada Pasal 9 (ayat 1) menyebutkan bahwa
“Setiap keputusan dan/atau tindakan wajib berdasarkan peraturan dan perundang-undangan dan AUPB (Administrasi Umum Pemerintahan Yang Baik.”
Keberatan yang diajukan RAPP terhadap SK Pembatalan RKU telah lewat dari 15 hari kerja dan sampai permohonan ini diajukan ke PTUN, Menteri KLHK tidak juga menerbitkan keputusan. Pihak PT RAPP berkomitmen pada perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, dan juga praktik bisnis secara berkelanjutan.
sumber: beritasatu.com