Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rabu (7/2/2018), ikut meramaikan perdebatan mengenai rencana pemerintah untuk mengizinkan perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia, bekerja sama dengan kampus swasta dalam negeri.
Ia menyatakan ada banyak manfaat yang bisa didapat oleh warga Indonesia jika kampus-kampus ternama dari luar negeri beroperasi di Indonesia. Salah satunya mempermudah warga Indonesia untuk bisa mendapatkan pengalaman sekolah di perguruan tinggi terbaik dunia.
“Pikirannya sederhana, kenapa kita memberikan beasiswa yang mahal-mahal untuk anak kita sekolah di luar negeri? Toh tidak memakai kurikulum Indonesia, tapi kita (Pemerintah, red.) biayai dia, triliunan kita biayai (lewat) LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan),” tutur Wapres yang akrab disapa JK itu, dikutip Antaranews.com.
“Mana yang lebih baik? Kita bawa sekolahnya ke sini sehingga lebih banyak anak yang bisa sekolah.”
Transfer ilmu dan sebagai tolok ukur pembanding dalam mengembangkan dunia pendidikan di dalam negeri, menurut Wapres, juga menjadi alasan lainnya.
Rencana pemerintah untuk mulai mengizinkan perguruan tinggi asing beroperasi di Indonesia telah diutarakan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir pada akhir bulan lalu.
Nasir bahkan mengungkapkan ada 5-10 universitas asing yang dalam proses pengajuan izin untuk membuka cabang di Indonesia. Rencana itu diharapkan terwujud pada pertengahan tahun ini.
“Kami memberikan kesempatan bagi perguruan tinggi asing, khususnya universitas unggulan dunia, untuk beroperasi di Indonesia. Jangan sampai ini dibilang model penjajahan gaya baru, bukan begitu karena intinya kolaborasi,” ujar Nasir dalam konferensi pers di Jakarta (29/1).
Kebijakan pemerintah tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi (berkas pdf) yang memang membuka pintu bagi kampus asing untuk beroperasi di Indonesia, seperti diatur dalam pasal 90 ayat (1).
Persyaratan yang mesti dipenuhi oleh kampus asing yang tertarik diatur dalam ayat (3) dan (4), termasuk soal letak universitas, program studi, kewajiban bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia, serta mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan berkewarganegaraan Indonesia.
Uji materi terhadap UU Dikti ini pernah diajukan oleh enam orang mahasiswa Universitas Andalas, Sumatra Barat, ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2012. Pasal soal perguruan tinggi asing termasuk yang diajukan untuk diuji.
Majelis hakim MK, yang saat itu diketuai Hamdan Zoelva, menolak permohonan tersebut. Mereka menyatakan kehadiran perguruan tinggi asing di Indonesia tidak akan menyebabkan swastanisasi pendidikan tinggi dan tak menimbulkan diskriminasi antara masyarakat mapan dan lemah.
Namun MK menegaskan perguruan tinggi asing tersebut harus mematuhi peraturan perundang-undangan dan bekerja sama dengan perguruan tinggi Indonesia.
Nasir, dikutip situs resmi Ristekdikti, mengisyaratkan pemerintah akan mematuhi undang-undang yang berlaku. Ia menyatakan tidak semua universitas asing bebas masuk dan beroperasi di Indonesia. Hanya perguruan tinggi asing dengan kualitas baik, minimal masuk peringkat 200 besar dunia, yang masuk kriteria.
Selain itu, Kemenristekdikti juga telah menetapkan program studi prioritas yang bisa ditawarkan kampus asing adalah sains, teknologi, keinsinyuran, matematika, bisnis, teknologi, dan manajemen.
Nasir menyebut beberapa perguruan tinggi asing yang telah menyatakan ketertarikan mereka antara lain Universitas Cambridge dan Imperial College London dari Inggris dan dua dari Australia, yaitu Universitas Melbourne dan Universitas Quensland. (h/t Republika Online, JPNN.com)
Ragam tanggapan
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menolak masuknya perguruan tinggi asing, terutama karena masih rendahnya Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang hanya sekitar 31 persen.
APK adalah rasio jumlah warga usia kuliah (19-23 tahun) yang meneruskan ke pendidikan tinggi.
Saat ini ada 4.504 perguruan tinggi di Indonesia yang didominasi 3.136 universitas swasta.
Ketua APTISI, Budi Djatmiko, dikutip Suara Pembaruan (31/1), meminta pemerintah untuk terlebih dulu menaikkan APK sebelum membuka pintu untuk kampus asing agar kampus-kampus lokal tidak lantas mati.
Budi menjelaskan, seharusnya kampus asing diizinkan masuk ke Indonesia ketika angka partisipasi pendidikan tinggi sudah mencapai 70 persen atau lebih, seperti di Singapura, yang mencapai 78 persen.
Jika kebijakan ini jadi dilaksanakan, Budi menegaskan para anggota APTISI akan turun ke jalan untuk meresponnya.
Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia, Suyatno, mengeluarkan tanggapan yang lebih netral. Ia menyatakan ada dampak negatif dan positif jika kebijakan ini diberlakukan pemerintah.
Dampak positifnya, tulis Suyatno dalam siaran pers (h/t RMOL.co, 8/2), adalah universitas lokal, baik negeri maupun swasta, akan terpacu untuk mengembangkan infrastruktur. Begitu juga pengembangan kemampuan dosen.
Dampak negatifnya, menurut rektor UHAMKA itu, perguruan tinggi asing, karena anggapan bahwa mereka lebih baik dibandingkan kampus lokal, akan menjadi daya tarik sendiri bagi generasi millenial Indonesia.
“Apalagi nantinya yang masuk ke Indonesia adalah universitas top dunia dan akan memangsa pasar perguruan tinggi menengah dan perguruan tinggi menengah akan memangsa perguruan tinggi yang kecil,” papar Suyatno.
Suara para wakil rakyat di Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat RI, yang mengurusi masalah pendidikan, pun tampaknya terbelah menanggapi rencana ini.
Anggota Komisi X Sri Meliyana, dikutip situs resmi DPR RI, mengutarakan ketidaksetujuannya dengan keputusan pemerintah yang memberi izin pengoperasian kampus asing di Indonesia.
“Kita punya banyak cita-cita pendidikan tinggi yang tidak hanya menciptakan orang pintar dan cerdas. Tetapi anak bangsa yang bisa menjaga dan melestarikan kearifan lokal serta nasionalisme yang terus dipupuk,” tegas politisi Partai Gerindra tersebut.
Namun, Arzeti Bilbina, anggota Komisi X dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), justru menyambut baik rencana tersebut.
“Dari sisi positif, masyarakat tidak perlu ke luar negeri untuk mengenyam pendidikan tinggi, tidak perlu ke negara lain, bisa di negara sendiri,” kata Arzetti kepada Viva.co.id.
sumber: beritagar.id