Jakarta, Beritasatu.com – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menegaskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu ketika tidak menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah memerintahkan KPU untuk menerbitkan SK baru Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD Pemilu 2019. Padahal, menjalankan putusan PTUN adalah perintah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Kalau dia (KPU) tidak melaksanakan, mengingatkan KPU ini harus dilaksanakan putusan pengadilan, dia yang salah. Dia melangggar etik karena itu bagaimana orang melakukan kewajiban hukum, dipersalahkan secara etik. Jadi, kalau KPU tidak melaksanakan putusan pengadilan itu bagian dari pelanggaran etik,” ujar Hamdan seusai menjadi saksi ahli di sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait laporan atas dugaan pelanggaran kode etik KPU dan Bawaslu, di Kantor DKPP, Jalan MH Thamrin Nomor 14, Sarinah, Rabu (13/2).
Hamdan menilai, KPU tidak bisa berdalil tidak melaksanakan putusan PTUN karena ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang calon anggota DPD dari pengurus parpol. Menurut Hamdan, antara putusan MK, putusan MA dan Putusan PTUN mempunyai wilayah yang berbeda-beda.
“Banyak orang yang salah pengertian tentang putusan MK, MA, dan PTUN. Yang mempertentangkan antara satu dan yang lain dan memilih yang mana. Padahal, ketiga putusan tersebut mempunyai wilayah yang berbeda,” kata Hamdan.
Putusan MK, kata Hamdan, menyangkut court of norm, pengadilan tentang norma, apakah suatu norma UU bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Hamdan, putusan MK merupakan putusan yang bersifat memberikan norma yang benar menganai Konstitusi.
“Jadi level putusan MK norma yang dibuatnya levelnya UU. Kemudian pelaksanaannya adalah ada pada organ negara yang melaksanakan norma itu dalam hal ini KPU,” jelas Hamdan.
Selanjutnya, kata Hamdan, KPU membuat PKPU yang melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD untuk melaksanakan norma yang diputuskan oleh MK. Namun, PKPU ini digugat lagi ke MA karena menurut UU membolehkan peraturan di bawah UU untuk digugat ke MA.
“Nah kita sudah tahu semua, putusan MA itu jelas, bahwa sepanjang tidak memberlakukan surut, maka norma yang dikeluarkan oleh KPU itu adalah benar. Artinya apa, kalau dia (KPU) memberlakukan surut terhadap proses yang sudah ada, itu adalah ilegal norma yang dibuat oleh KPU itu. Jadi ini beda sudah, putusan MK mengenai norma UU, putusan MA menyangkut norma yang dibuat KPU,” tutur Hamdan.
Konkret
Sementara putusan PTUN, kata Hamdan, adalah putusan yang bersifat konkret, individual, dan final. PTUN adalah benar-benar pengadilan fakta atau court of fact sehingga harus dilaksanakan KPU apa adanya.
“Nah apapun putusan pengadilan fakta ini, putusannya saya katakan harus dilaksanakan apa adanya putusan pengadilan fakta itu. Itu dilaksanakan tidak boleh kita menyatakan saya tidak mau melaksanakan karena tidak sesuai keputusan MK,” terang Hamdan.
Lebih lanjut, Hamdan mengatakan, jika KPU patut diduga melanggar kode etik, maka keputusan Bawaslu sudah tepat dengan memerintah KPU untuk menjalankan putusan PTUN. Jika Bawaslu tidak memerintahkan KPU menjalankan putusan PTUN, maka Bawaslu melanggar kode etik penyelenggara pemilu.
“Saya katakan Bawaslu mengeluarkan rekomendasi kepada KPU untuk melaksanakan putusan pengadilan. Itulah kewajiban hukumnya yang harus dilakukan oleh KPU,” pungkas Hamdan.
Sebagaimana diketahui, Kubu OSO melaporkan Ketua dan Komisioner KPU ke DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik. Pasalnya, KPU tidak menjalankan putusan MA, putusan PTUN dan putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU membatalkan dan mencabut Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.04-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD. Selain itu, putusan juga memerintahkan KPU untuk menerbitkan SK baru DCT Anggota DPD dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Sementara Bawaslu dilaporkan karena dalam putusannya soal dugaan pelangggaran administrasi, menyebutkanwa OSO harus mengundur diri dari parpol sehari sebelum pelantikan dan penetapan anggota DPD terpilih. Jika tidak mengundur diri, maka OSO tidak bisa dilantik menjadi anggota DPD.
sumber: beritasatu.com