Solo: Hasil simposium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bidang pendidikan merekomendasikan perlu adanya model baru pendidikan kebangsaan pada era milenial, dari tingkat PAUD, Sekolah Dasar, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Menyusul adanya fakta, bahwa setelah era orde baru berakhir dan lahirnya reformasi tidak ada model pendidikan kebangsaan yang jelas di dunia pendidikan nasional.
Jika pada masa Orde Baru ada penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada semua level, kemudian tidak ada lagi pada masa reformasi. “Ini merupakan salah satu yang menyebabkan krisis kebangsaan,” ujar Abdur Rahman Ketua Panitia Simposium KAHMI Bidang Pendidikan,yang mengangkat tema: Teknologi, Industri dan Pendidikan, saat membacakan Rekomendasi Simposium di Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sabtu, 16 Februari 2019.
Pendidikan kebangsaan sangat penting, mengingat tantangan terbesar dari masuknya era disrupsi ini adalah kemungkinan merosotnya semangat nasionalisme. Terlebih lagi beberapa indikasi awal merosotnya nasionalisme telah muncul, seperti hoaks,ujaran kebencian, radikalisasi dan ancaman disintegrasi.
“Oleh karenanya, simposium nasional ini akan menggerakkan para pemikir, peneliti dan pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia untuk mengoptimalkan inisiatif dan inovasi pendidikan, mempersiapkan SDM yangsejajar dalam kemitraan dan kolaborasi untuk kemajuan masyarakat regional maupunin ternasional,” ungkap Abdur Rahman.
Rekomendasi kebijakan dan program pengembangan pendidikan ini disampaikan setelah memperhatikan data dan pemikiran dari lima narasumber dalam Simposium. Selain itu juga mempertimbangkan fakta dan temuan yang ada di dalam 37 judul artikel, semuanya telah dibahas bersama dalam tiga sesi paralel oleh sekitar 100 ilmuwan muslim, peneliti profesional dan praktisi pendidikan kayapengalaman, yang hampir semuanya adalah warga dan aktisivis KAHMI.
(CEU)
sumber: medcom.id