Rilis Opini : Fifi Indaryani SH.,MH Ketua Bidang Hukum & Ham Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI)
“PB SEMMI merekomendasikan pendeklarasian pengklaiman kemenangan peserta pemilu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu”
Baru saja negara kita merayakan pesta demokrasi yang bisa dikatakan sebagai pestademokrasi terbesar sepanjang sejarah demokrasi negara kita. Pasalnya pesta demokrasi kali ini diselenggarakan secara serentak atau bersamaan.
Berbeda dari penyelenggaraan pemilu sebelum-sebelumnya, pemilu kali ini, kita bukan hanya memilih anggota legislatif tetapi juga memilih presiden dan wakil presiden dalam waktu yang bersamaan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Penyelenggaraan pemilu bukan euphoria peraayaan pestademokrasi semata namun dibalik telah terselenggaranya pesta demokrasi besar ini bukan tidak mungkin menimbulkan dampak yang luarbiasa, khususnya mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden.
Jika dirunut kebelakang sebelum penyelenggaraan pemilu, sudah banyak isu-isu yang mewarnai pemilu kali ini mulai dari saling lapor dari kedua kubu tim pendukung masing-masing calon, meningkatnya hoax atau berita bohong, isu SARA, pelanggaraan kampanye dan berbagai isu-isu lainnya.
Kegaduhan terjadi tidak hanya sebelum pelaksaan pemilu namun setelah pelaksanaan pemilu. Pada tanggal 17 April 2019, pada hari diselenggarakannya pemilu berbagai hasil survei dari lembaga-lembaga survei dan tim pasangan calon mengumumkan hasil perhitungan cepat pemilu (Quick Qount). Beberapa lembaga survei mengumumkan hasil survei sementara perolehan pemungutan suara (Exit Poll).
Beberapa hasil lembaga survei menunjukkan hasil dengan perolehan dengan keunggulan salah satu paslon dan beberapa lembaga survei lainnya juga dengan perolehan keunggulan dari paslon lain. Tentu saja hasil quick count atau exit Poll bahkan real count yang dihasilkan oleh para tim paslon melalui form C1 yang di kumpulkan oleh para saksi partai politik maupun paslon bukan penentu hasil yang sebenarnya, namun memberikan gambaran secara awal hasil pemilu berdasarkan survei yang telah mereka lakukan.
Satu-satunya lembaga yang bisa menentukan atau mengumkan hasil rekapitulasi perhitungan suara adalah Komisi Pemilian Umum (KPU) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 13 huruf (d) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Artinya diluar dari lembaga KPU maka tidak ada satupun yang berhak menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi suara tanpa terkecuali tim pasangan calon yang mengumpulkan form C1 dari setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sungguh sangat disayangkan ketika masing-masing tim pemenangan calon presiden dan wakil presiden mengklaim kemenangan dengan deklarasi di berbagai media elektronik maupun media cetak sebelum adanya penetapan resmi hasil pemilu. Tim Kampanye Nasional (TKN) paslon 01 dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) paslon 02, masing-masing mendeklarasikan kemenangan sebelum adanya penetapan resmi hasil pemilu.
Pengklaiman masing-masing tim pemenangan bukan hanya di tingkat elit politis namun merambah sampai kepada masyarakat, ini menggambarkan Kontestasi politik yang tidak dewasa. Adanya Saling klaim kemenangan menyebabkan terjadinya provokasi dan kegaduhan serta menimbulkan polemik di tengah masyarakat luas.
Namun pendaklarasian dan pengklaiman kemenangan sebelum adanya pengumuman resmi tidak dikategorikan sebagai pelanggaran atau tindak pidana pemilu. sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Makamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang tata cara penyelesaian tindak pidana pemilihan dan pemilihan umum yang menyatakan bahwa “tindak pidana pemilihan umum yang selanjutnya disebut tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Namun tidak ada satupun Pasal dalam UU tersebut yang menyatakan atau mengkategorikan secara tegas hal tersebut sebagai pelanggaran atau tindak pidana pemilu. Tapi mari kita melihat dari unsur undang-undang lainnya seperti UU Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 35 menyatakan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”
Pendeklarasian pengklaiman kemenangan oleh masing-masing tim paslon melalui berbagai media elektronik dengan berdasarkan data quick count hasil survei sementara berbagai lembaga survei dan bukan berdasarkan data real atau yang sebenar-bernarnya bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan dapat diancam dengan pidana.
Terjadi manipulasi, penciptaan, perubahan, pengrusakan informasi elektronik yang dilakukan oleh masing-masing tim pemenangan dengan tujuan agar informasi tersebut dianggap sebagai data otentik padahal belum ada data real atau data resmi. Namun untuk lebih lanjut perlu ada penyelidikan dan penyidikan dari pihak kepolisian dan para penegak hukum lainnya untuk membuktikan unsur-unsur delik (bestanddelen) yang terdapat dalam Pasal 35 tersebut tentu saja dengan melalui pembuktian di lembaga peradilan.
Melihat dampak yang ditimbulkan begitu besar karena Saling klaim kemenangan hasil pemilu sebelum ada penetapan resmi dari KPU, maka perlu adanya tindakan tegas dari bawaslu dan penegak hukum untuk menindaki para tim pemenangan paslon yang telah melakukan perbuatan melawan hukum. Adanya pengklaiman seperti yang terjadi sekarang ini bisa dikategorikan tindak pidana pemilu dimasa yang akan datang tentu saja dengan kajian dan penelitian yang lebih mendalam kedepannya.
Sebagai bentuk remomendasi dari PB SEMMI agar kedepannya kejadian yang seperti ini tidak terulang kembali. PB SEMMI juga berharap, semoga KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu mampu menjaga kepercayaan masyarakat dengan jujur, transparan serta netral untuk mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga negara yang independen.