Oleh Dr. Hamdan Zoelva (Ketua Mahkamah Konstitusi 2013-2015/Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam masa jihad 2015-2020)
Idealnya, sistem demokrasi memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk memperoleh hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang tidak memperlihatkan dikotomi atau perbedaan nyata antar masyarakat dalam pelbagai bidang kehidupan.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia menempatkan persamaan hak dan kewajiban warga negaranya. Semua persamaan itu dipertegas dalam sila kelima dasar negara, yakni Pancasila, lalu diterjemahkan kedalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan hukum dibawahnya. Termasuk penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), yang sejak pertama kali dimulai pada tahun 1955 silam hingga pemilu serentak bulan April yang lalu mempertegas bahwa negara kita menganut sistem demokrasi.
Dalam proses pelaksanaan pemilu dari tahun ke tahun harus kita akui disana-sini masih banyak kekurangan. Proses perbaikan pun silih berganti kita lakukan. Mencapai puncak saat untuk pertama kalinya sistem pemilu serentak (pemilu presiden dan legislatif) digabungkan kedalam satu hari pemilihan atau lebih dikenal dengan pemilu lima kotak pada April yang lalu.
Sampai tulisan ini dibuat, pemilu serentak tahun 2019 memberikan catatan kritis. Hingga akhir April, riuh rendah pemilu serentak yang seakan-akan terfokus kepada pilpres, karena ada semacam polarisasi masyarakat yang terbentuk antara dua kubu yang berlawanan telah menyita atensi publik. Pun ketika kita disuguhkan pemandangan miris banyaknya korban jiwa akibat penghitungan suara secara manual yang berjenjang sampai ada keputusan dari Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei mendatang. Tak lupa pula dinamika lain yang membuat kita merasa sedih, bahkan bisa juga miris, saat perilaku yang dipertontonkan oleh tokoh yang seharusnya menyejukkan, terkesan seperti memancing di air keruh.
Namun, dibalik hingar bingar pasca pencoblosan pada 17 April 2019 yang lalu, kita masih saja dipertontonkan oleh pertarungan bebas demokrasi. Pertarungan bebas demokrasi yang menganut sistem kapitalisme telah menjadi santapan sehari-hari. Maka, tak heran akhirnya kita hanya bisa mengurut dada saat politik uang kembali hadir, dan itu terbukti dari penangkapan oknum anggota DPR oleh komisi antirasuah karena hendak membagi-bagikan uang untuk ‘serangan fajar’.
Tawaran Sistem Baru
Melihat fenomena demokrasi yang masih menyimpan berbagai catatan, alangkah baiknya untuk proses pendewasaan demokrasi kedepan, kita mengharapkan akan adanya sistem baru yang bisa membuat demokrasi kita menjadi lebih baik lagi. Sebelum itu, saya ingin menyampaikan seharusnya ada tiga prasyarat sebuah negara menuju negara demokrasi.
Pertama, tingkat kecerdasan masyarakat. Cerdas disini bukan hanya mereka yang memiliki IQ tinggi, namun lebih kepada mereka yang cerdas dalam berpolitik. Cerdas dalam politik maknanya adalah mereka yang berkontestasi siap untuk menang dan siap untuk kalah. Sedangkan, untuk masyarakat, cerdas dalam berpolitik adalah menggunakan hak pilih dengan lebih mengedepankan logika dan akal, lalu tidak menjadi pendukung fanatik yang dapat dengan mudah memecah belah masyarakat.
Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat. Persoalan kesejahteraan masyarakat dapat kita lihat langsung ketengah masyarakat disaat disparitas atau kesenjangan antar masyarakat masih menjadi persoalan. Kesejahteraan masyarakat erat kaitannya dengan keadilan. Hukum yang berlaku yakni masyarakat yang sejahtera, maka keadilan didapatkan. Nah, disaat keadilan didapatkan, maka masyarakat akan hidup dalam alam demokrasi yang betul-betul bebas dan merdeka.
Ketiga, perangkat hukum dan peradilan yang baik. Menyinggung persoalan perangkat hukum dan peradilan yang baik, sangat berhubungan erat dengan sistem dan sumber daya manusia yang bekerja untuk itu. Disaat sistem sudah baik, ditambah perangkat (dalam hal ini sumber daya manusia) pun bekerja baik, maka dapat dipastikan demokrasi akan berjalan dengan baik juga, begitupun sebaliknya.
Pilihan melaksanakan demokrasi bebas pada masyarakat yang belum memenuhi prasyarat demokrasi berakibat pada rusaknya tatanan demokrasi, yaitu demokrasi dirampok oleh pemilik modal. Siapa yang punya kapital banyak dia yang akan memenangkan kontestasi. Misalkan, untuk menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota bisa menghabiskan biaya 1 sampai 2 miliar, untuk DPRD Provinsi bisa mencapai 5 miliar dan untuk DPR RI bisa menghabiskan 5 miliar lebih.
Untuk menekan ongkos demokrasi yang mahal, menurut saya pemilu kedepannya partai politik harus dibiayai oleh negara. Hipotesis saya adalah lebih banyak jumlah uang yang ‘bocor’ karena dikorupsi oleh partai politik dan pejabat publik, dibandingkan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk partai politik. Hipotesis saya ini dibuktikan dengan banyaknya para petinggi parpol dan pejabat publik yang terkena kasus korupsi dan ditangkap oleh KPK.
Pasar bebas politik membuat parpol mencari cara untuk menghidupi partai dan mendapatkan dana kampanye. Alhasil, saat parpol atau tokoh parpol menduduki posisi strategis di pemerintahan, harus mencari pemasukan untuk menjalankan parpol, termasuk dengan cara-cara yang tidak baik.
Sementara, untuk mengatasi banyaknya korban jiwa serta ketegangan tingkat tinggi dalam masyarakat, dapat menjadi bahan evaluasi juga bagi sistem pemilu kedepannya. Saya menilai bahwa pemilu sekarang terkesan ribet. Betapa tidak, pemilih harus dihadapkan dengan kertas suara yang lebih lebar dibandingkan dengan kotak suara serta ratusan nama yang berjibun didalamnya. Pemilu seharusnya dilaksanakan sesederhana mungkin, tidak ribet seperti sekarang.
Sejak pertama kali diterapkan pada tahun 1955, aturan serta sistem pemilu selalu diperbaiki dan disempurnakan. Sistem pemilu tahun 1999, kita memakai sistem proporsional tertutup. Daerah pemilihanya adalah provinsi. Keterpilihan berdasarkan kabupaten/kota yang meraih suara terbesar dan terbanyak.
Tahun 2004 diubah dengan proporsional setengah terbuka. Calon terpilih dengan suara terbanyak jika memperoleh 100 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Tahun 2009 diturunkan dari 100 persen ke 30 persen BPP, tapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Keterpilihan berdasarkan suara terbanyak dan itu berlaku sampai sekarang.
Namun, sistem proposional terbuka ini jugalah menjadi awal dari demokrasi pasar bebas. Dengan hitung-hitungan suara terbanyak, ditambah asumsi bahwasanya tingkat kecerdasan dan tingkat kesejahteraaan rakyat belum tinggi, maka kandidat yang bertarung memainkan uang sebagai cara untuk mendulang suara. Konsekuensinya dari pertarungan pasar bebas demokrasi ini membuat para pengusaha dan pemilik modal berduyun-duyun masuk ke ranah politik praktis yang membuat aktivis mahasiswa, atau mereka yang sudah ‘berkarat’ di partai yang notabene tidak berduit, namun hanya punya semangat tidak berdaya menahan gempuran ini.
Melihat kondisi sekarang, pemilu kita dimasa depan perlu kiranya untuk dievaluasi dan perlu diberlakukan kembali sistem proporsional tertutup. Dengan sistem proporsional tertutup, masyarakat dan parpol akan dihadapkan dengan pemilihan yang sederhana sekali. Pertarungan ada di parpol dan parpol juga harus diperbaiki. Cara memperbaikinya parpol adalah dengan menjadikan parpol sebagai badan hukum publik yang dapat dikontrol oleh rakyat dan harus dibiayai oleh negara, sehingga negara punya kekuasaan dan keleluasaan penuh untuk mengatur parpol yang kalau dibiarkan tetap mandiri justru akan semakin menimbulkan praktek oligarki dan kapatalistik partai politik.
Tujuan lainnya agar tidak ada lagi istilah partai ‘konglomerat’ dan partai ‘dhuafa’. Semua partai memiliki finansial yang sama, sehingga partai akan berlomba melahirkan kader terbaik, bukan kader terkaya.
Teorinya dalam demokrasi, rakyat yang membiayai partai. Namun, di Indonesia, orang-orang tertentu yang membiayai partai. Kondisi tersebut sangat rawan dijadikan bisnis politik. Penguasa yang membiayai dan pengusaha yang mempengaruhi kebijakan partai politik sebagai investasi politik.
Sedangkan, melihat fenomena banyaknya korban jiwa akibat kelelahan dalam proses penghitungan suara serta tekanan batin dan mental yang diterima oleh petugas, saya mengusulkan agar ada pemisahan antara pemilu nasional dan daerah. Dengan pemisahan tersebut, maka jumlah surat suara yang dihitung pun cuma tiga buah dan tekanan nya pun bisa diminimalkan.
Selain itu, pemisahan antara pemilu nasional dengan pemilu daerah bertujuan untuk fokus kampanye daerah dan nasional. Kalau seragam otomatis kepentingan nasional semua, padahal kepentingan daerah berbeda-beda.
Kita perlu ubah Undang-Undang dan sistem pemilihan umum dalam rangka perbaikan. Sekarang ini sistem demokrasi mengalami pembusukan dengan implikasi yang luar biasa.
Korupsi tidak akan berhenti dan KPK akan terus menangkap pejabat korup jika sistem ini tidak diganti.
sumber: suarasi.com