Oleh : Megawaty (Ketua umum PP Wanita Pertahanan Ideologi Syarikat Islam/Alumni Jurusan Psikologi UIN Syarif Hidayatullah)
Kontroversi Pemilu Serentak dan Polarisasi Mencuri Fokus Negara
Perhelatan pemilu 2019 telah usai. Pemilihan umum yang kali ini digelar secara serentak ; dimulai dari pemilihan presiden dan legislatif dari tingkatan daerah hingga pusat, menuai pro dan kontranya sendiri. Pemilihan elektoral kali ini membutuhkan fokus dan kinerja ekstra bagi para penyelenggara pemilu guna dapat menyukseskan agenda lima tahunan tersebut. Pada pemberitaan pasca pemilu kali ini ramai dengan berita efektivitas pemilu serentak tidak mumpuni bagi para penyelenggara pemilu.
Bergugurannya para petugas penyelenggara pemilu menimbulkan banyak kontroversi. Dimulai dari anggapan pemilu serentak hanya menghemat anggaran tanpa memperhatikan segi humanistik individu hingga pemilu serentak dinilai kurang persiapan guna menciptakan pemilu yang damai dan bebas dari segala upaya yang menimbulkan perpecahan.
Pemilihan umum yang menimbulkan banyak korban jiwa merupakan efek domino dari sebuah polarisasi besar yang sedang terjadi saat ini. Terjadinya polarisasi menjerat kita pada pengkotakan yang terjadi di dalam masyarakat. Dua kubu yang tengah berkompetisi memperebutkan kursi yang sama memicu euforia warga dalam pesta demokrasi tersebut.
Dikotomi yang hadir mencuri fokus semua orang. Polarisasi dimulai pada pemilu 2004 hingga pemilu 2019. Hal tersebut seakan mencitrakan pertarungan itu adalah pertarungan abadi yang digencarkan oleh pihak petahana dan oposisi.
Euforia demokrasi berlangsung dengan berbagai konflik di dalamnya. Kedua kubu yang seakan membuat blok masing-masing ini saling hajar dengan black campaign yang sama-sama menuai rasa permusuhan. Dimulai melalui celah isu sara, hoax berkepanjangan hingga ujaran kebencian secara terus menerus. Berbulan-bulan media kita menyuguhkan tayangan dan drama tanpa ujung. Pengkotakan itu pula yang menyandra kita pada idiom berkonotasi buruk “cebong-kampret” dan ujaran kebencian lainnya. Semua dibranding demi kepentingan dua kubu.
Perhatian yang dicuri oleh kesibukan saling serang itu, membuat kita terlupa bahwa ada persoalan humanis yang terlewatkan. Korban berguguran akibat kelelahan dalam prosesi pengawalan pemilu oleh penyelenggara pemilu. Pun alih-alih korban gugur, kita menganggapnya seperti suatu hal yang biasa saja. Lebih menarik pertarungan siapa menang dan kalah dari kedua kubu. Miris, sisi humanis kita telah padam.
Dinamika Pemilu Menyakiti Mental Bangsa
Dengan banyaknya suguhan percaturan politik dua blok ini memaksa kita untuk ikut ke dalamnya. Kita terjebak pada kondisi yang tidak dapat memberikan pilihan lain untuk menentukan masa depan bangsa. Namun pada orang yang mulai lelah dengan tontonan drama panjang ini lebih memilih untuk menjadi golongan orang-orang yang tidak memilih atau kita menyebutnya dengan golput ; golongan putih. Golongan tersebut merupakan sikap pesimis yang terjadi dan berujung pada sikap antipati. Pesimis pada siapapun yang terpilih, Indonesia tetap tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Fokus yang tertuju pada pertarungan sengit, agresi dan pandangan destruktif-lah yang saat ini kita nikmati bersama. Rasa pesimis dan apatis pun timbul pada sisi lainnya. Kondisi mental bangsa sedang dalam keadaan sakit dan krisis. Keadaan ini disebabkan dari dinamika kelompok yang terjadi dan membentuk ketegangan pada masing-masing individu.
Pada suatu konsepsi, Floyd D. Ruch dalam bukunya, Psychology and life mengatakan bahwa dinamika kelompok adalah analisis dari hubungan kelompok sosial berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku dan kelompok adalah hasil interaksi yang dinamis antara individu- individu dalam situasi sosial. Hematnya seperti ini, dalam suatu kelompok kita akan membuat in-group yang dibangun bersasarkan interaksi dan keterhubungan serta minat yang sama.
Lalu, kelompok yang telah membuat struktur dan in-group nya masing- masing akan mengadakan saingan dan saling memghambat usaha masing- masing. Dari sinilah akan terbentuk sikap negatif, prasangka dan setereotipe terhadap kelompok yang menjadi out group kita. Dinamika kelompok yang digambarkan tersebut adalah analisis wajar yang terbangun. Namun sayangnya, pandangan negatif yang berlebihan pada out group yang harus diwaspadai. Prasangka tersebut menuntun kita pada mental yang sakit jika sudah ada motif destruktif di dalamnya.
Bangsa kita dibangun dalam semangat kebhinekaan, semangat persatuan dan perjuangan yang luar biasa untuk bangkit dari penindasan. Mungkinkah karena dinamika kelompok yang terjadi, kita melupakan prinsip dan tujuan kita berbangsa dan bernegara?
Distorsi Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia dan AS
Melihat situasi yang ada, Indonesia harus banyak belajar dari negara maju yang “katanya” menjadi panutan dalam berdemokrasi dan berpolitik. Secara gamblang, Indonesia masih meniru sistem pemerintahan negara adidaya, Amerika serikat. Namun nyatanya, pada praktiknya Indonesia dinilai belum siap secara infrastruktur dan mental.
Berkaca pada skandal Watergate di tahun 1970- an di Amerika Serikat yang membuat krisis konstitusi dan mengakibatkan Presiden Richard Nixon mengundurkan diri. Skandal tersebut dimulai dari penangkapan lima laki-laki yang berusaha masuk ke kompleks perkantoran Komite Nasional Demokrat untuk memasang alat penyadap.
Setelah dilakukan penyelidikan, peristiwa tersebut dilakukan karena konspirasi Partai Republik terhadap partai demokrat. Bertujuan agar bisa merugikan partai demokrat dan upaya agar Nixon dapat terpilih lagi dalam Komite Pemilihan Presiden. Selain itu ditemukan juga skandal korupsi yang dilakukan oleh Nixon. Mahkamah agung mendapatkan bukti berupa rekaman terkait skandal Nixon tersebut. Setelah itu, komite yang dibentuk oleh kongres mengeluarkan impeachment atau tuntutan agar presiden berhenti dari jabatannya. Pada akhirnya, Nixon mengundurkan diri.
Dari kilas balik skandal Watergate kita harus mampu membandingkan perbedaan kontras antara Indonesia dan AS. Kendati meniru sistem politik dengan pemilihan elektoral yang demokratis, namun sayangnya Indonesia hanya terkesan latah dan ikut-ikutan. Hal ini sangat berisiko terhadap Indonesia yang majemuk.
Khususnya untuk posisi Mahkamah Agung, di Amerika posisi itu merupakan jabatan seumur hidup dan tidak dibawah presiden. Sehingga bisa bertindak atas nama hukum untuk mengadili Presiden sekalipun. Sementara di Indonesia seorang hakim agung itu adalah menteri dalam sebuah kabinet yang disusun secara politis. Pertanyaannya siapa yang akan menjadi penjaga sistem perpolitikan di Indonesia ketika terjadi accident?
Civil Society sebagai Pilar Ketiga
Menjawab problematika yang terjadi karena polarisasi negara saat ini, sementara lembaga negara pun tidak bisa berperan lebih guna menengahi kericuhan sosial saat ini. Kita harus mengingat tentang pilar ketiga yang hampir terlupakan. Konsep Civil Society atau Masyarakat Madani yang sering dipaparkan Cak Nurcholis Madjid pada setiap pidatonya merancang bahwa berhimpunnya Social movement, Political movement dan posisi Moral force sebagai penghubung kedua sayap Civil society tersebut akan menjadi cikal bakal penggerak dan kunci penyelesaian dalam kehidupan bernegara.
Sering kita lihat dominasi pemerintah dan bisnis menjadi sumber dan motivasi untuk melanggengkan kekuasaan. Itulah salah satu alasan mengapa polarisasi terjadi dengan sangat sengit. Hanya saja, motif dari polarisasi tersebut dikemas dengan sangat rapi sehingga tidak memunculkan kesan demikian. Civil Society harus mampu menjadi jawaban atas kebingungan masal yang terjadi. Karena melalui Civil Society lah idealisme dibangun. Di dalamnya terdapat golongan intelektual dan agen perubah yang harus mampu menjadi penyambung lidah rakyat. Selain itu politik keterbukaan harus turut menjadi kunci agar sakit mental bangsa ini lekas terobati.
Konsolidasi Demokrasi
Terakhir, yang dapat disampaikan adalah proses rekonsiliasi yang kita kenal sebagai proses penyembuhan dan penyatuan kembali. Berbesar hati untuk menerima dan menjalankan kehidupan bernegara agar tercapai stabilitas negara pasca kondisi genting. Rekonsiliasi dapat kita lakukan dengan upaya mendorong pihak pihak yang berhadapan untuk kemudian membangun satu kondisi yang harmonis, positif , penuh tanggung jawab pasca pemilu.
Upaya upaya yang dapat di lakukan antara lain adalah : Pertama, Membuka ruang dialektika yang sehat antara penguasa dan oposisi, bahwa negara yang di wakili pemerintah adalah institusi publik, tidak boleh menghindar dari kritik publik yang di lakukan oleh berbagai pihak. Pemerintah dengan perangkatnya tidak boleh represif atas hal itu.
Kedua, Memberikan peran-peran strategis kepada anak bangsa pada konteks pembangunan nasional, untuk menumbuhkan satu tanggung jawab bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketiga, Leader group harus berusaha untuk mengarahkan pikiran masyarakat menjadi konstruktif dalam cara pandang atas realitas yang terjadi.
Dengan adanya ketiga poin konsolidasi demokrasi tersebut, akan membantu dengan cepat pulihnya mental bangsa. Rekonsiliasi atau sering kita kenal dengan “Pemaafan” pasca konflik sangat penting bagi kehidupan bernegara.
McCullough dkk. (1997) mengemukakan bahwa pemaafan merupakan motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti.
Rekonsiliasi merupakan terapi mental yang baik bagi bangsa. Penerimaan yang baik terhadap hasil keputusan yang terjadi merupakan cara menjadi negarawan yang memiliki jiwa besar. Pun pada pengamalannya dibutuhkan kesadaran masif bagi setiap elemen yang turut mengikuti euforia pesta demokrasi dari awal hingga akhir.
Pada akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai persatuan yang terbangun dari seluruh kemajemukan yang ada. Berbeda adalah suatu kelumrahan, tetapi tetap komitmen terhadap keutuhan adalah suatu keniscayaan negarawan sejati.
sumber: suarasi.com