TRIBUNJAKARTA.COM – Penyelenggaran Pilpres 2019 rupanya memiliki kesamaan dengan Pilpres 2014.
Tak cuma soal calon yang maju bersaing dalam pemilihan, namun ada pula beberapa hal lainnya.
Satu di antaranya adalah terkait kecurangan.
Hal itu disampaikan langsung Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013 – 2015, Hamdan Zoelva.
Hamdan Zoelva menyebut bahwa kondisi Pilpres 2019 dan 2014 memang memiliki kemiripan.
“Pertama pasangan calonnya, hanya dua, kalau pasangan calon hanya dua, memang terjadi suatu keterbelahan sosial antara pemlih 1 dan 2,” ujar Hamdan Zoelva dalam program Aiman KOMPAS TV, Selasa (21/5/2019).
“Juga kasus yang terungkap dan dikemukakan, ya sama,” tambahnya.
Hamdan Zoelva tak menampik bahwa penyelenggaran pilpres di Indonesia belum sepenuhnya berlangsung tanpa kecurangan.
“Ini bukan baru pertama MK menyidangkan perkara pilpres tapi sejak dari 2004, memang harus kita akui pemilu di Indonesia belum ada yang sepenuhnya sangat clear tanpa kecurangan sama sekali,” terangnya.
Menurutnya, kecurangan pasti ada.
“Cuma intensitasnya sejauh mana dan sebesar apa itu yang menjadi pertimbangan,” terangnya.
Hamdan Zoelva lantas membeberkan kecurangan yang terjadi pada penyelenggaraan Pilpres 2014.

Hanya saja, kata dia, kecurangan tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap suara.
“Di Papua terjadi di beberapa distrik kabupaten, masalahnya adalah tidak terlalu signifikansi pengaruhnya terhadap suara,” terangnya.
“Jadi MK itu berpikir tentang hal yang lebih besar,” sambungnya.
Lain halnya bila kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), lanjtu dia, MK bisa saja membuat keputusan lain terkait hasil penghitungan suara.
Kecurangan TSM tersebut pernah terjadi pada penyelenggaraan Pilkada Kotawaringin Barat.
Saat itu, MK membatalkan pemenang dari Pilkada Kotawaringin Barat.
Hamdan Zoelva menyebut bahwa hal tersebut bisa kembali terjadi bila memang benar terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Namun, mesti disertai dengan bukti-bukti yang kuat.
“Siapa yang mendalilkan bahwa ada kecurangan secara TSM maka dia harus membuktikannya, itu bukan hal yang gampang,” kata Hamdan Zoelva.
Kesaksian Mahfud MD di Pilpres 2014
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menganjurkan agar persoalan sengketa Pilpres 2019 diselesaikan sesuai aturan.
Bila ada pihak yang tak menerima hasil rekpitulasi KPU, kata Mahfud MD, dapat mengajukan gugatan ke MK.
Mahfud MD menjelaskan, jangan ada anggapan bahwa MK tidak berguna.
Menurut Mahfud MD, bila memiliki bukti-bukti kecurangan yang kuat hingga bersedia mengadu data, MK tentu akan menindaklanjutinya.
Mahfud MD lantas menyinggung pernyataan beberapa tokoh yang menyatakan MK tidak efektif.
Seperti halnya yang disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon beberapa waktu lalu.
Fadli Zon menyatakan bahwa peran MK dalam hal pemilihan presiden (pilpres) tidak pernah efektif.
Ia menyebut MK tidak efektif karena berkaca pada pilpres 2014 lalu.
Menurutnya, pada tahun 2014 lalu pihaknya telah telah menyampaikan sejumlah bukti kecurangan ke MK.
Bukti-bukti kecurangan itu disimpan dalam sejumlah kontainer.
Namun saat itu, kata Fadil Zon, MK justru tidak membuka satu boks pun.
“MK itu tidak pernah efektif,” ucap Fadli Zon beberapa waktu lalu.
“Pengalaman mengajukan ke MK pada 2014 dengan sejumlah bukti-bukti kecurangan yang begitu besar berkontainer-kontainer waktu itu saksinya memang kita bagi tugas ada dari PKS. Tetapi tidak ada satu pun boks yang dibuka oleh MK jadi percuma lah MK itu ga ada gunanya,” sambungnya.
Mahfud MD pun menyebut, pernyataan yang menyatakan MK tak berguna adalah provokatif.
“Misalnya yang tahun 2014 sudah bawa sekian truk bukti, ternyata kan tidak pernah diantarkan buktinya,” ucap Mahfud MD seperti dilansir Tribunjakarta dari tayangan YouTube Talkshow TVONE, Selasa (21/5/2019).
Bukti yang dimaksud Mahfud MD adalah bukti dalam bentuk formulir.
Mahfud MD yang saat itu bertindak sebagai Ketua Tim Pemenangan Pasangan Prabowo-Hatta itu pun enggan hadir di MK untuk mengajukan gugatan.
“Tahun 2014 itu saya tidak mau ikut juga hadir ke Mk karena bukti dalam bentuk formulir yang bisa dipersandingkan tidak ada,” jelas Mahfud MD.
“Makanya saya bilang waktu itu kalau ada bukti biar saya maju sendirian ga usah pake pengacara bisa juga tuh ke MK menang kalau ada buktinya,” tambahnya.

Saat itu, Mahfud MD juga berpesan bila ke membawa sengketa Pilpres ke Mk jangan bicara soal kecurangan di Papua.
“Karena di tempat lain ada kecurangan yang sama oleh pihak lain,” terang Mahfud MD.
“Langsung aja adu bukti hitung, tidak pernah ajukan itu hanya katanya curang di sana di sini. Sehingga hasilnya ga menghitung angkanya, karena tidak mempersoalkan angka pada waktu itu,” sambungnya.
Mahfud MD pun meyakinkan bahwa MK bisa saja melakukan pembatalan hasil penghitangan suara.
Tak hanya itu, kata Mahfud MD, Mk bahkan dapat melakukan pemindahan suara.
“Kalau mempersoalkan angka, adu formulir, kalau mempersoalkan kecurangan harus ada bukti terstruktur, sistematis dan masif, itu bisa dilakukan pembatalan hasil penghitungan suara atau pemungutan suara bahkan pemindahan suara bisa dilkaukan oleh MK,” jelas Mahfud MD.
Sebelumnya, Mahfud MD sempat menanggapi pernyataan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto yang menolak hasil penghitungan Pilpres 2019 yang curang.
Menurut Mahfud MD, menolak hasil penghitungan resmi KPU sebetelunya bukan sesuatu yang tidak diperbolehkan.
“Kalau dalam konteks hukum tidak apa-apa,” kata Mahfud MD seperti dilansir dari tayangan YouTube iNews, Kamis (16/5/2019).
“Artinya kalau misal menolak proses rekapitulasi tak mau tanda tangan padahal sidang sudah dibuka secara sah dan diberikan kesempatan untuk mengadukan pendapat lalu dia tetap tidak mau terima ya pemilu selesai, secara hukum ya,” tambahnya.
Penulis: Mohamad Afkar Sarvika
Editor: Kurniawati Hasjanah
sumber: tribunnews.com