SURATKABAR.ID – Hamdan Zoelva yang merupakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi angkat bicara mengenai laporan dugaan kecurangan dalam penyelenggaran Pilpres2019. Menurutnya, akan sulit untuk membuktikan dugaan kecurangan di dalam Pilpres 2019. Apalagi jika selisih perolehan suara di antara dua pasangan calon itu terpaut cukup jauh. Hamdan Zoelva menyampaikan hal itu saat diwawancara oleh Aiman Witjaksono dalam program Aiman yang ditayangkan Kompas TV, Senin (20/05/2019) lalu.
“Itu sangat sulit sekali, susah, dan tidak gampang,” tegas Hamdan, seperti dikutip dari laporan WartaKota.TribunNews.com, Jumat (24/05/2019).
Hamdan mengemukakan, dalam sistem hukum mengenai pembuktian, siapa pun yang mendalilkan ada kecurangan, maka pihak itu harus bisa membuktikan kecurangan di hadapan hakim.
Dan ini termasuk soal isu kecurangan pada Pilpres 2019. Diperkirakan oleh Hamdan, selisih suara di antara pasangan calon nomor urut 01 dan 02 terpaut sekitar 10 juta suara. Bila salah satu paslon menduga ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif, maka pihak itu harus bisa membuktikannya di Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, sambung Hamdan, beban pembuktian tersebut sangat sulit. Pasalnya, pihak penggugat harus bisa membuktikan kecurangan 10 juta suara di ribuan tempat pemungutan suara (TPS).
Pemilu Tak Mungkin Dibatalkan
Hamdan lalu menambahkan, pada tahun 2014 lalu, MK menerima gugatan dari salah satu pihak pasangan calon presiden.
Dan Hamdan yang saat itu masih menjabat sebagai hakim MK, mengakui, benar telah terjadi kecurangan di beberapa distrik dan kabupaten di Papua.
Namun, lanjut Hamdan, bukti kecurangan itu tak sebanding dengan selisih perolehan suara di antara kedua pasangan calon.
Dengan begitu, kecurangan yang terbukti itu tidak signifikan terhadap perubahan perolehan suara.
“Jadi MK itu berpikir hal-hal yang lebih besar. Kesalahan di satu TPS, misalnya, kalau bedanya 10 juta (selisih suara), ya kan tidak mungkin dibatalkan pemilunya,” beber Hamdan.
Selain itu, tutur Hamdan, perolehan suara pada Pilpres 2019 hampir merata di seluruh Indonesia.
Ketimpangan jumlah perolehan suara hanya terjadi sedikit di beberapa tempat. Hal itu dinilai semakin menyulitkan pembuktian dugaan adanya kecurangan tersebut.
“Jadi sebenarnya plus minus, dari sisi suara ya sama saja,” ungkap Hamdan kemudian.
Pemilu 2014 Mirip dengan 2019, Termasuk Isu Kecurangan
Selain itu, Hamdan Zoelva juga mengatakan bahwa kondisi yang terjadi di Pemilu 2014 mirip dengan yang saat ini terjadi di Pemilu 2019. Dalam hal ini meliputi kandidat calon presiden serta dugaan kecurangan yang dimunculkan.
“Hampir sama, karena pertama pasangan calon hanya dua. Memang terjadi suatu keterbelahan sosial antara pemilih 01 dan pemilih 02,” kata Hamdan.
Hamdan berujar, dugaan kecurangan dan kasus-kasus yang terjadi dan diungkap oleh salah satu pihak yang terlibat kontestasi juga mirip antara 2014 dan 2019. Bahkan, lanjutnya, dugaan kecurangan itu selalu ada di setiap pemilu dan digugat di MK sejak 2004.
Kata Hamdan, memang harus diakui bahwa pemilu di Indonesia belum sepenuhnya bersih dari kecurangan. Meski begitu, tetap harus ditinjau seberapa besar intensitas tuduhan kecurangan tersebut.
Prabowo Empat Kali Mencalonkan Diri
Kilas balik. Terhitung, Prabowo Subianto telah empat kali mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2004 hingga 2019. Waktu itu, Prabowo mencoba maju menjadi presiden melalui Partai Golkar dengan mengikuti konvensi.
Namun dalam konvensi, Prabowo hanya mendapat 39 suara, yang merupakan perolehan terendah dari lima calon kala itu.
Ada pun calon lainnya ialah Wiranto, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Konvensi ini kemudian dimenangkan oleh Wiranto yang mengalahkan Akbar Tanjung di putaran kedua. Wiranto akhirnya maju menjadi calon presiden Partai Golkar pada pemilu 2004 berpasangan dengan Solahuddin Wahid, adik dari almarhum presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid.
sumber: suratkabar.id