Padang, semmi.id – Menyikapi pro kontra terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Pengurus Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PW SEMMI) Sumatera Barat melakukan diskusi publik dengan tema ‘Membedah Revisi UU KPK’ di Sekretariat Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Sumatera Barat, Jalan Gunung Pangilun, Padang, Kamis (19/9).
Dalam diskusi yang bekerjasama dengan PW PII Sumatera Barat, PW SEMMI Sumatera Barat dan Himpunan Mahasiswa Islam Koordinator Komisariat (HMI KORKOM) Universitas Andalas, yang menghadirkan pemateri pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Dr. Khairul Fahmi dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas yang juga Wakil Dekan I FISIP, Dr. Aidinil Zetra, melahirkan sikap resmi terkait polemik Revisi UU KPK.
Menurut Ketua Umum PW SEMMI Sumatera Barat, Afrifan Eldo Yura, PW SEMMI Sumatera Barat menyatakan sikap bahwa revisi UU KPK telah memperlemah kpk, baik secara kelembagaan maupun secara kewenangan.
Adapun beberapa hal terkait sikap dari PW SEMMI Sumatera Barat adalah sebagai berikut :
1. Menabrak syarat formal pembentukan/perubahan UU secara formil. Perubahan UU KPK melanggar UU Nomor 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
2.Status kelembagaan KPK dinyatakan sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun (pasal 3)
a. Menyatakan KPK masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif adalah salah secara teoritik, karena konsep pembagian kekuasaan negara tidak lagi berdasarkan teori trias politika (Montesquieu) yang menempatkan lembaga negara independen terpisah dari cabang kekuasaan lainya.
b. Bagaimana KPK bisa disebut indpenden dan benas pengaruh kekuasaan lain, sementara
-KPK diawasai oleh dewan pengawas (Dewas) yang dibentuk dan diangkat oleh presiden.
-Pimpinan KPK mesti dievaluasi kinerja tiap tahun oleh Dewas, dan hasil kerja Dewas dilaporkan kepada Presiden dan DPR
-KPK tidak bisa mengangkat penyelidik sendiri, melainkan harus berasal dari polisi, jaksa atau instansi pemerintah.
3. Masalah kewenangan KPK
a. Penyadapan dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari dewan pengawas(pasal 12B) Dewas dapat memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan(pasal 37B ayat 1. Sedangkan standar Dewas untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan sama sekali tidak di atur. Sehingga sangat potensial terjadi penyalahgunaan tihas Dewas yang bertanggung jawab kepada Presiden.
4. Keberadaan dewan pengawas
a. Dewan bertugas melakukan evakuasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala 1 kali dalam 1 tahun. (Pasal 37B ayat 1 huruf f) Dewas KPK akan menjadi lembaga superkuat yang mengendalikan atau mengontrol KPK, sementara Dewas adalah ‘orangnya’ presiden.
b. Ketua dan anggota Dewas diangkat dan ditetapkan melalui pembentukan pansel oleh presiden (pasal 37E) nama nama calon Dewas disampaikan Presiden kepada DPR untuk dikonsultasikan. Ini menjadi langkah awal Presiden dan DPR untuk mengontrol KPK, sehingga akhirnya politiklah yang akan mengendalikan KPK
c. Untuk pertama kali Dewas akan ditunjuk dan diangkat oleh Presiden bersamaan dengan pengangkatan pimpinan KPK 2019-2023 (pasal 69A) hasilnya KPK akan sepenuhnya berada dibawah kontrol orang-orang yang ditunjuk Presiden.
“Kami mengakui memang KPK belum lah sempurna, harus ada pembenahan di tubuh KPK. KPK memang butuh dikritik karena karena KPK bukan lembaga anti kritik,” tambah pria yang akrab disapa Eldo ini.
Tetapi, lanjut Eldo, masih dalam muatan besar memperbaiki bukan melemahkan lembaga negara. “Saya mengajak organisasi kepemudaan di Sumatea Barat untuk berdiskusi dan dialog bersama orang yang memahami bidang hukum tata negara dan politik. Agar sikap organisasi masih relevan dengan perjuangan dan cita cita awal berdiri,” tutup Eldo.