Jakarta – Presiden baru-baru ini melantik Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi menggantikan Aswanto yang sebelumnya dicopot oleh DPR karena dinilai selalu menganulir produk hukum Undang-Undang yang dibentuk DPR. Padahal, pencopotan Aswanto sendiri dinilai sangat janggal. Betapa tidak, masa jabatan Aswanto berdasarkan UU MK terbaru seharusnya akan berakhir pada Maret 2029, namun sebelum akhir masa jabatan tersebut DPR secara sepihak langsung menunjuk Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi.
Hal ini yang kemudian mengusik nalar intelektual para mantan Hakim Konstitusi seperti Jimly Asshiddiqie, Hamdan Zoelva, dan bahkan Mahfud MD, yang notabene saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Alhasil, pada Oktober lalu terdapat pertemuan para mantan Hakim Konstitusi yang khusus membahas fenomena pemberhentian Aswanto. Dalam pandangan kesembilan mantan hakim MK tersebut, terdapat hasil diskusi yang sangat fundamental; mereka secara mufakat menyatakan bahwa DPR secara terang-terangan telah melanggar konstitusi.
Namun demikian, secara praktis ultimatum kesembilan mantan Hakim Konstitusi tersebut tidak diindahkan oleh DPR, bahkan tindakan DPR kemudian didukung oleh Presiden, yang pada 24 November melantik Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto. Pelantikan Guntur Hamzah oleh Presiden di tengah kontroversi pencopotan Aswato merupakan preseden buruk yang akan berdampak negatif terhadap dinamika dunia peradilan konstitusi di Indonesia.
Mendukung Pelanggaran
Tindakan Presiden melantik Guntur Hamzah menggantikan Aswanto secara tidak langsung mendukung langkah DPR yang melanggar konstitusi. Betapa tidak, pencopotan Aswanto oleh DPR dapat dikatakan merupakan langkah politik dan bukan merupakan tindakan hukum yang konstitusional. Hal ini dapat terlihat dari berbagai argumentasi DPR dalam mencopot Aswanto, seperti alasan karena Aswanto menganulir produk hukum DPR, maupun karena alasan bentuk evaluasi DPR terhadap Hakim Konstitusi yang diajukan sebelumnya.
Jika memang benar demikian, apakah berbagai alasan pemberhentian tersebut telah sesuai dengan hukum? Mengingat dalam UU MK seorang Hakim Konstitusi dapat diberhentikan secara hormat maupun tidak hormat; masing-masing kategori pemberhentian didasari pada alasan yang jelas.
Dalam Pasal 23 misalnya, pemberhentian dengan hormat didasari karena alasan meninggal dunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi; telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; dan sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Sedangkan, pemberhentian dengan tidak terhormat didasari karena alasan:
- dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara;
- melakukan perbuatan tercela;
- tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
- melanggar sumpah atau janji jabatan;
- dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
- tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau
- melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.
Dari berbagai ketentuan tersebut terlihat bahwa alasan karena menganulir produk hukum DPR bukan merupakan alasan hukum yang dapat memberhentikan Hakim Konstitusi. Selain itu, berbagai alasan yang telah ditentukan dalam UU MK tersebut merupakan batasan yang ditentukan berdasarkan paradigma hukum. Dengan kata lain, pemberhentian Hakim Konstitusi yang menggunakan alasan selain dari Pasal 23 tersebut dapat dikatakan merupakan alasan politis dan bertentangan dengan hukum.
Lebih lanjut, untuk menutupi kecacatan yuridis dari pemberhentian Aswanto tersebut belakangan DPR mengeluarkan argumentasi yang unik untuk membenarkan langkah yang ditempuhnya. Dalam pandangan DPR, kewenangan untuk memberhentikan Hakim Konstitusi adalah kewenangan konstitusional atau kewenangan mutlak DPR, sebab sejak awal DPR lah yang mengusulkan hakim konstitusi, dengan demikian secara konsekuen kewenangan untuk memberhentikan juga dimiliki oleh DPR.
Dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 memang disebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, frasa “yang diajukan oleh masing-masing” dimaknai dengan tafsir ekstensif atau diperluas maknanya oleh DPR, tidak hanya mengajukan melainkan juga memberhentikan.
Mungkin dalam perspektif DPR dalam kasus ini berlaku asas contrarius actus, yang dalam hukum administrasi umumnya dipahami dengan paradigma “barang siapa yang mengizinkan sesuatu maka ia juga berhak juga untuk mencabut izin tersebut”, artinya dalam konteks ini DPR hendak menyatakan barang siapa yang mengusulkan hakim MK, maka lembaga tersebut juga berhak untuk mencopot hakim tersebut. Dengan kata lain, pengusulan Hakim Konstitusi oleh DPR juga dinilai sepaket dengan pemberhentian Hakim Konstitusi oleh lembaga pengusung.
Pandangan demikian justru merupakan kesesatan berpikir (logical fallacy) yang paling fundamental, sebab kata “oleh” dalam Pasal 24C ayat (3) tersebut tidak boleh diartikan sebagai kata “dari” sehingga muncul asumsi keliru bahwa hakim konstitusi seolah merupakan delegasi DPR, padahal kata “oleh” dalam pengajuan Hakim Konstitusi harus diartikan terbatas pada kewenangan menyeleksi melalui institusi DPR. Oleh karenanya, pengajuan Hakim Konstitusi tidak dapat dimaknai secara bersamaan dengan kewenangan mengganti Hakim Konstitusi yang sedang menjabat.
Dengan demikian, kondisi tersebut secara jelas memberikan gambaran bahwa pencopotan Aswanto merupakan intervensi politik DPR dan Presiden terhadap lembaga peradilan, yang relatif sama seperti fenomena pada saat sebelum reformasi.
Kekuasaan badan peradilan sering sekali mendapatkan intervensi dari kekuasaan Eksekutif maupun Legislatif. Seperti yang pernah dikemukakan oleh seorang ahli hukum Belanda Sebastiaan Pompe, yang dalam disertasinya berjudul Runtuhnya Istitusi Mahkamah Agung menyebutkan bahwa kekuasaan badan peradilan merupakan kekuasaan yang selalu diupayakan untuk ditundukkan oleh Legislatif dan Eksekutif.
Padahal intervensi tersebut sangat berbahaya, sebab dominasi kontrol politik dalam penyelenggaraan hukum dan peradilan tidak selalu berakibat pada lumpuhnya supremasi hukum dan bahkan cenderung berujung pada hal yang negatif. Oleh sebab itu, manuver politik dari Legislatif maupun Eksekutif harus diimbangi dengan penegakan hukum melalui badan peradilan yang mandiri. Itulah mengapa dalam konteks modern ini, pengamat politik dan hukum seperti Robert Dahl mengemukakan tesis monumentalnya dengan mengatakan bahwa jantung dari negara hukum yang demokratis adalah kekuasaan badan peradilan yang merdeka dan bebas dari intervensi politik.
Alif Fachrul Rachman Associate at Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm
sumber: news.detik.com