Ketika AR Baswedan diangkat menjadi menteri, walaupun mendapat mobil kecil, tetapi tidak ada keinginan untuk menyimpan uang bagi dirinya.
Rumah salah satu tokoh nasionalis pejuang kemerdekaan Indonesia, Abdul Rahman Baswedan (AR Baswedan), kakek Anies Rasyid Baswedan dari pihak ayah, waktu di Jakarta berdekatan dengan rumah Haji Agus Salim. Kesulitan hidup keluarga AR Baswedan-Syeikhun pun banyak diketahui Haji Agus Salim. Kedua tokoh itu saling bantu-membantu di dalam kesulitan.
Haji Agus Salim tahu betul rumah tangga AR Baswedan. Misalnya, aliran listrik di rumahnya diputus karena tidak punya uang untuk membayar rekeningnya. Juga seringkali istrinya minta air minum kepada tetangganya karena ledengnya tidak mengalir gara-gara tidak membayar rekening air ledeng.
Walaupun kehidupannya penuh duka dan derita, istrinya tetap setia berada di sampingnya. Waktu memimpin permulaan perjuangan di Jakarta (1936) kadang-kadang di rumah hanya tersedia beras dan kecap, tetapi hal ini tidak merupakan penghalang baginya.
Dan, meskipun kehidupannya diselubungi dengan kesulitan dan derita, AR Baswedan maupun Syeikhun tidak mau minta bantuan kepada siapa pun, lebih-lebih minta honorarium pada partainya. Ia tidak mau menjadikan partai sebagai sumber penghidupannya, karena hal ini akan mengurangi kewibawaan.
Untuk itulah semasa hidup AR Baswedan sering masih terkenang ketabahan istrinya, Syeikhun, yang sudah meninggal duluan. Syeikhun meninggal di Rumah Sakit Kadipala, Sala pada 10 Juli 1948 dengan menderita malaria tropika sewaktu AR Baswedan menjabat menteri.
Almarhumah meninggal dengan tenang setelah mendampingi mewujudkan cita-citanya dalam kesatuan Partai Arab Indonesia.
Suratmin dalam buku karyanya berjudul Abdul Rahman Baswedan, Karya dan Pengabdiannya yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989), menceritakan, AR Baswedan sebagai ketua Pengurus Besar Partai Arab Indonesia (PAI) hidupnya dari kertas koran.
Kalau malam ia pergi ke pasar membeli lontong. Hal ini dijalani semuanya oleh AR Baswedan pada tahun 1937 di Semarang bersama almarhum Salim Maskati.
Nah, pada bagian kelima tulisan ini, KBA News lebih lanjut mengulas secara khusus masih mengetengahkan tentang kisah kehidupan berumah tangga AR Baswedan, dan memimpin PAI untuk menurutkan idealismenya dengan hidup bersusah payah dan tidak menentu.
Ketika AR Baswedan diangkat menjadi menteri, walaupun mendapat mobil kecil, tetapi tidak ada keinginan untuk menyimpan uang bagi dirinya. Hal ini benar-benar tidak terlintas dalam pikirannya.
Pikirannya dicurahkan 100 persen untuk perjuangan. Demikianlah tantangan dan risiko rumah tangga seorang pejuang. Hidupnya selalu berpindah-pindah dari kota ke kota. Waktu menjadi menteri muda penerangan, tempat menginapnya di Yogya tidak menentu. Keluarganya tinggal di Solo.
Jumlah anak AR Baswedan 11 orang, sembilan orang lahir dari Syeikhun, sedangkan dua orang dari istrinya yang bernama Barkah. Kesemua anaknya itu ialah: Anisah, lahir di Surabaya 22 Desember 1926, Aliyah, tinggal di Kebonan, Sala, Fuad di Jakarta, Drs Awad Rasyid Baswedan, dosen Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Berikutnya Hamid, tinggal di Cirebon, Atikah di Sala, Nur tinggal di Gandekan Kiwa, Sala, Imlati (singkatan dari Indonesia Merdeka Lekas Akan Tercapai InsyaAllah) lahir menjelang proklamasi di Jakarta tahun 1945, Lukyana (maknanya perjumpaan kita) tinggal di Surabaya.
Nama Lukyana berhubung tibanya kembali AR Baswedan dari melawat ke Mesir 5 bulan, memperjuangkan pengakuan de jure bagi RI Maret 1947.
Kemudian dari pernikahan dengan Barkah, lahir dokter Havied Natsir Baswedan. Havied di sini berarti cucu, sedangkan Natsir ini sebagai kenangan untuk anaknya karena waktu kawin dengan Barkah bertindak sebagai walinya adalah Moh. Natsir. Dan kesebelas Ahmad Samhari, dokter yang bekerja pada UNICEF di Jakarta.
Perlu diketahui bahwa sepeninggal Syeikhun, AR Baswedan hidup menduda dengan sembilan anak. Dengan meninggalnya istrinya itu terasa sekali kerepotan mengurus rumah tangganya. Ia sudah biasa memimpin organisasi, maka walaupun dalam pemikirannya yang kalut, terlintas juga untuk perjuangan.
Untuk itulah kemudian timbul pemikiran dan saran-saran kawan-kawan seperjuangan agar AR Baswdan kawin lagi. Dengan perkawinan itu supaya anak-anak lebih terurus, dan ia dapat melanjutkan perjuangannya untuk kepentingan masyarakat dan bangsanya.
Di antara saran dari mereka itu supaya ia kawin dengan Barkah, penggerak dan pemimpin PAI Istri. Barkah sudah mengerti benar-benar keluarga Baswedan. Waktu AR Baswedan menjadi ketua PB PAI, di Jakarta Barkah mengambil bagian aktif di dalam PAI Istri.
Rupa-rupanya Tuhan menjodohkan pertemuan AR Baswedan dengan Barkah, janda muda yang belum beranak itu. Ia hidup menjanda selama tiga tahun, baru kemudian kawin dengan AR Baswedan.
Pertemuan antara keduanya ini memiliki cerita tersendiri. Orang-orang separtainya mempunyai pendapat, bahwa yang dapat menyelamatkan keluarga besar AR Baswedan dan rumah tangganya hanyalah Barkah. Saran sahabat-sahabatnya antara lain juga dari koleganya Moh. Natsir, menteri penerangan.
Semula dorongan dan anjuran dari semua pihak ditolaknya, karena punya banyak anak dan tidak mempunyai kekayaan apa-apa, sedangkan Barkah dari keluarga yang tadinya berada dan mewah.
AR Baswedan bersedia kawin asalkan calon istrinya itu benar-benar menerima anaknya yang banyak itu, dan bersedia serta sanggup hidup sederhana sebagai kawan seperjuangan.
Akhirnya pergilah AR Baswedan bersama anaknya Aliyah, menghadap ke mertuanya di Semarang untuk bermusyawarah sambil menengok anak perempuannya yang bungsu (Lukyana) yang ikut neneknya sejak ia ditinggal mati oleh ibunya.
AR Baswedan kemudian bertemu dengan seorang kawannya dari PAI di tengah pasar dan menganjurkan agar AR Baswedans segera menikah lagi. Sarannya tak lain supaya ia memperistri Barkah dengan pertimbangan, dia sama-sama berjiwa perjuangan sehingga dapat mengimbangi cita-citanya.
Memang Barkah sudah akrab hubungannya dengan almarhumah istrinya dan anak-anaknya. Ia sering turut membantu kesulitan rumah tangga yang dihadapi pemimpinnya.
Apabila ada kekurangan uang untuk membayar rekening listrik dan ledeng yang telah dimatikan, dia turut membantunya. Anak-anak AR Baswedan sudah biasa dan akrab dengan Barkah yang tinggal berhadapan rumah.
Walaupun dengan jalan yang berliku-liku, tetapi jodoh dipastikan oleh Tuhan. Hal-hal yang semula tidak terbayangkan untuk menikah dengan Barkah, akhirnya menjadi kenyataan, walaupun calon mertuanya tidak sependapat.
Ayah Barkah sudah membayangkan kesulitan rumah tangga anaknya apabila ia kawin dengan AR Baswedan yang anaknya sembilan orang itu, terutama karena pada masa itu semangat kesukuan kuat sekali, sehingga Baswedan yang bukan sesuku tak mungkin diterima pinangannya.
Dalam menangani desakan berbagai pihak terutama dari kawan-kawan Baswedan itu, sebenarnya Barkah sendiri dapat menerimanya. Karena itu kemudian AR Baswedan meminta kepada ketua Pusat Aisyiyah, Ibu Aisyah Hilaal agar memindahkan Barkah (waktu sebagai guru sekolah Aisyiyah Tegal) ke Yogyakarta.
Dengan kepindahannya ini bebaslah ia dari lingkungan tradisional Arab di Tegal. Sudah barang tentu peristiwa perkawinan AR Baswedan-Barkah disambut dengan gembira oleh kawan-kawannya, terutama karena “taktik” yang digunakan AR Baswedan dengan melaksanakannya di Yogyakarta merupakan suatu keberanian karena melanggar tradisi yang umum di kalangan yang bersuku-suku bawaan dari tradisi tanah Hadramaut.
Pernikahan AR Baswedan dengan Barkah dilaksanakan di rumah Ibu Aisyah Hilaal tersebut di Kauman dan bertindak sebagai walinya, Moh. Natsir.
sumber: kbanews.com/senggang